Lihat ke Halaman Asli

Nur Azis

Pembelajar sepanjang waktu

Nasib Jambrong

Diperbarui: 18 Oktober 2019   16:16

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Karena malu disebut anak tukang sambung ayam, Jambrong, minta keluar dari sekolah. Siswa kelas lima SD itu, sudah tak sanggup menghadapi ejekan teman-temannya. Apalagi jika sudah bertemu dengan Bendhol dan kelompoknya. Tak hanya ejekan, seringkali, Jambrong di palak, hingga dikeroyok rame-rame.

Padahal, Jambrong digadang-gadang sebagai ujung tombak keluarga. Kelima kakaknya, semua perempuan. Sekolahnya, cukup sampai SD. Ikut bekerja di rumah tetangga, dan setelahnya menikah dan beranak-pinak.

Parno, ayah Jambrong, sempat berjanji. Jika sampai dikaruniai anak laki-laki, maka tidak akan disia-siakan. Ujarnya, dia akan merawat dan membesarkannya seperti halnya anak seorang yang berduit dan bernama besar. Paling tidak, seperti anaknya juragan Bagong, atau anaknya Pak Kaji Badrun dan yang lainnya.

Tentu saja, sikap Parno itu tak begitu saja diterima oleh anggota keluarga yang lain. Terutama Wati, istrinya. Baginya, seharusnya perlakuan itu sama. Tak membedakan apakah si anak itu perempuan atau laki-laki. Justru sebaliknya, masih menurutnya, jika memang harus memberikan perlakuan khusus, itu seharusnya pada anak perempuan. Bukan anak laki-laki.

Sebagai kaum perempuan, Wati tak mau begitu saja mengiyakan keinginan suaminya. Karena sebagai perempuan, dia merasa seringkali harus mengalah dengan laki-laki. Baginya, semua itu tak adil.

Meski seberapa keras Wati berargumen, tetap saja, dia tak mungkin bisa mengalahkan Parno. Wati itu seorang istri, dan lagi-lagi, seorang istri itu harus tunduk pada suaminya. Begitulah kira-kira yang disepakati oleh Parno. Sesuatu yang juga ia dapatkan dari bapaknya, dan juga dari kakeknya. Laki-laki itu harus selalu di atas perempuan.

Dari pada terus beradu argumen, yang akhir-akhirnya berakhir dengan pertengkaran, Wati lebih memilih untuk mengalah. Dia sudah kenyang dengan sikap amarah suaminya itu. Jika diingat-ingat dulu, betapa seringnya Parno melakukan kekerasan fisik pada dirinya. Mulai dari tamparan, tendangan, dan semacamnya. Itu juga tak seberapa, sering juga, umpatan kasar diucapkan kepada Wati.

Memang, setelah kehadiran Jambrong, sifat amarah Parno sudah sedikit  berkurang. Namun, kebiasaannya melakukan sambung ayam, rasanya sulit dihilangkan. Hingga, Jambrong, anak kesayangannya itu minta berhenti dari sekolah.

Hari ini, Jambrong benar-benar mogok sekolah. Meski sudah berseragam, sudah juga sarapan, setelahnya dia justru mematung. Tak mau bicara, hanya menunduk di bangku bambu depan TV. Lantas bagaimana dengan nasib Jambrong jika terpaksa keluar.  Karena memang hanya sekolah itu lah satu-satunya yang ada di kampung. Tak ada sekolah lain.

Wati terus merayu. Dengan iming-iming, atau dengan apa saja. Asalkan anak laki-lakinya itu mau berangkat sekolah. Namun Jambrong tetap tak bergerak. Dia seperti sedang berdemonstrasi dengan cara mematung. Barangkali, dengan cara itu lah, Parno, ayahnya mau berhenti sebagai tukang sambung ayam.

"Ayo, Nak, berangkat sekarang ya. Sudah mau jam tujuh lho. Nanti kamu telat dimarahi sama bu guru bagaimana?" rayu Wati pada Jambrong.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline