Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Khoirul Wafa

Santri, Penulis lepas

Polemik dan Kontroversi Hukum Musik: Lain Dulu Lain Sekarang

Diperbarui: 14 April 2021   16:39

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Halodoc.com

Apa yang kita pahami tentang konteks musik hari ini dan zaman dahulu tentu saja jauh berbeda. Sebelum orang-orang mulai mengenal musik klasik ala-ala Johann Sebastian Bach, Beethoven, atau Frdric Chopin misalnya, musik pada masanya dulu sekali, mungkin seolah menjadi komposisi tak terpisahkan antara sorak-sorai gempita nan riuh, yang dipandu biduanita jelita dengan busana hampir "transparan".

Musik zaman dahulu di banyak tempat kiranya adalah saat yang tepat untuk "lupa waktu". Bahkan lupa diri juga, karena sambil berjoget ria, sebelah tangan memegang tuak. Musik dan arak seolah dua sejoli yang akrab.

Kita bisa lihat dalam tradisi lama era jahiliah, era Romawi kuno, atau tak usah jauh-jauh, sebelum masyarakat kita di nusantara ini mengenal musik dengan cara yang lebih modern, musik itu ya identiknya dengan semacam tarian ronggeng atau sejenisnya. Yang kadang dibumbui kemaksiatan, dan itu sangat sulit dipisahkan.

Kalau pernah baca novel Ronggeng Dukuh Paruk nya Ahmad Tohari, mungkin akan menemukan sedikit gambaran tentang orang menikmati musik di zaman dulu.

Tentu saya sangat memaklumi kalau zaman dahulu banyak ulama yang akhirnya mengharamkan musik. Bahkan dengan sangat tegas. Tak bisa ditawar-tawar lagi. Karena memang mungkin di daerah ulama tersebut, musik lekat erat dengan kemaksiatan. Dimana ada lantunan melodi dan nyanyian merdu, disitu hampir bisa dipastikan orang lupa diri dan lupa waktu.

Yah masak iya, orang zaman dahulu mau streaming pakai Spotify atau Joox?

Kalau mau melihat pentas musik ya mereka harus secara langsung mendekat ke panggung. Jika sekedar penggembala yang berdendang diiringi suara rumput dan angin, sambil mengusir jenuh menunggui domba, apakah bisa disebut musik oleh orang dulu? Yah, mungkin mereka lebih mengenal musik sebagai sebuah pentas. Bukan nyanyian solo tanpa pendengar.

Lalu zaman berganti, musim pun berubah, sekarang orang mengenal musik dengan cara yang lebih bijaksana, atau mungkin lebih pribadi. Menikmatinya seorang diri dengan irama lembut, bahkan digunakan sebagai pengantar tidur, atau relaksasi.

Mata terpejam, membayangkan sedang berkelana di kesunyian luar angkasa, diiringi orkestra The Blue Danube karya Johann Strauss II. Sungguh khas film Stanley Kubrick

Jika kita bisa menikmati musik dengan demikian, maka dimanakah letak salahnya? Kalau sekedar memanfaatkan fitur dibelakang layar dari YouTube music, sambil mengantri di halte bus, karena sudah telanjur daftar YouTube premium.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline