Lihat ke Halaman Asli

Kadir Ruslan

TERVERIFIKASI

PNS

Resep Hidup Bahagia dan Umur Panjang Masyarakat Indonesia

Diperbarui: 14 November 2017   11:35

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Para penari bersiap membawakan Tari Dabi-dabi pada Upacara Orom Sasadu di Desa Gamtala, Halmahera Barat, Maluku Utara, pada Kamis (16/5/2013). Orom Sasadu merupakan upacara adat khas Halmahera Barat yang dilakukan sebagai tanda syukur atas hasil panen. Masyarakat Maluku Utara juga tersurvei memiliki persentase hidup bahagia tertinggi se-Indonesia. (KOMPAS IMAGES / VITALIS YOGI TRISNA)

Apa yang membuat orang bahagia dan tetap sehat dalam menjalani hidup?

Sebuah studi yang dilakukan oleh Universitas Harvard tentang perkembangan hidup orang dewasa (the Harvard Study of Adult Development) telah mengungkap jawaban dari pertanyaan ini: hubungan sosial yang terjalin dengan baik. Kebahagiaan ternyata bukan melulu soal materi dan popularitas seperti yang dipikirkan oleh banyak orang.

Hasil studi ini menyimpulkan bahwa kualitas hubungan yang terjalin dengan keluarga, sabahat, dan komunitas merupakan faktor penentu dan sangat memengaruhi tingkat kebahagiaan dan kualitas kesehatan seseorang dalam menjalani hidup.

Studi yang dilakukan secara berkesinambungan (panel study) selama lebih dari 75 tahun--dan terus berlangsung hingga saat ini-- dengan mengikuti kehidupan 724 remaja di Amerika Serikat sejak tahun 1938 ini menemukan bahwa hubungan sosial sangat penting bagi kehidupan seseorang, dan kesendirian (loneliness) berdampak buruk bagi kehidupan kita.

Mereka yang memiliki hubungan sosial yang baik dengan keluarga, sahabat, dan komunitas cenderung lebih bahagia dan memiliki kondisi kesehatan yang lebih baik serta berumur lebih panjang ketimbang mereka yang memiliki konektifitas sosial yang buruk.

Sementara itu, mereka yang hidup dalam kesendirian dan terisolasi dari orang lain cenderung kurang bahagia dan berumur lebih pendek. Kondisi kesehatan dan fungsi otak mereka juga lebih cepat menurun seiring berjalannya waktu.

Temuan Universitas Harvard ini nampaknya sejalan dengan hasil Survei Pengukuran Tingkat Kebahagiaan (SPTK) masyarakat Indonesia yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik (BPS) pada Agustus lalu.

Seperti diketahui, BPS melaporkan bahwa indeks kebahagiaan masyarakat Indonesia yang diukur melalui 19 indikator yang mewakili tiga dimensi kebahagiaan (kepuasan hidup, perasaan, dan makna hidup) mencapai 70,69 pada skala 0-100. Itu artinya, secara umum masyarakat Indonesia tergolong bahagia.

Salah satu pertanyaan yang muncul di benak banyak orang terkait rilis BPS ini tentu saja adalah apa rahasia yang membuat masyarakat Indonesia secara umum merasa bahagia padahal pada saat yang sama kesulitan ekonomi dan kondisi hidup serba kekurangan masih menjadi fenomena keseharian yang harus dihadapi oleh puluhan juta penduduk negeri ini.

Sumber: BPS

Jika ditelaah lebih jauh, indikator-indikator yang merepresentasikan kualitas hubungan sosial dengan keluarga dan lingkungan sekitar ternyata merupakan kontributor utama indeks kebahagiaan yang mencapai 70,69 tersebut. Di antara 19 indikator yang ada, variabel keharmonisan keluarga merupakan indikator dengan kontribusi tertinggi dengan skor mencapai 80,05. Hal ini mampu mengkompensasi skor dimensi materi yang boleh dibilang relatif rendah, seperti pendapatan rumah tangga (62,99) serta kondisi rumah, dan fasilitas rumah (69,28).

Selain itu, sumbangan variabel hubungan sosial kemasyarakatan dan hubungan positif dengan orang lain juga cukup signifikan, yakni dengan skor masing-masing sebesar 75,45 dan 71,93.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline