Lihat ke Halaman Asli

Sugar Group Companies dan Masa Depan Listrik Lampung

Diperbarui: 30 Maret 2016   18:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Permasalahan listrik di Lampung mencapai puncaknya dalam bulan maret tahun ini.  Setelah petisi fenomenal bertajuk “Berikan jaminan tidak ada pemadaman listrik di Lampung” di situs Change.org yang ditandatangani ribuan orang itu mencuat, baik pihak PLN maupun pemerintah melalui Gubernur Lampung Ridho Ficardo akhirnya buka suara.

Dari berbagai kendala yang diungkap oleh PLN dan Gubernur, ada hal menarik terkait dengan pembangunan tower transmisi Sumatera Selatan-Lampung, yang mengalami kendala dalam pembebasan lahan guna mendirikan Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi(SUTET) penghubung Menggala-Seputih Banyak.

Diketahui, sejak tahun 2007 lalu, PLN telah membangun transmisi listrik dari Sumsel menuju Provinsi Lampung.  Karena Lampung masih bergantung pada pasokan energi listrik dari Sumsel, maka selain transmis lewat Batu Raja-Bukit Kemuning diperlukan tambahan pembangunan transmisi dengan mendirikan tower penghubung gardu induk(GI) Menggala dan GI Seputih Banyak.

Namun pembangunan SUTET Menggala-Seputih Banyak yang masih membutuhkan 90 dari 179 tower itu terhenti setelah PLN terkendala masalah pembebasan tanah yang melewati sebagian milik korporasi perkebunan multinasional, Sugar Group Companies.

Sugar Group Companies atas kepemilikan Hak Guna Usaha

Pihak Sugar Group Companies(SGC) memang tidak memberikan izin atas pembebasan lahan mereka guna pembangunan tower PLN, hal ini selain akibat dikhawatirkan mengganggu proses produksi serta pemupukan udara, kepemilikan Hak Guna Usaha(HGU) menjadi sandungan terberat PLN dalam proses pembebasan lahan.

Pihak SGC pun menyatakan tidak akan menjual atau melepaskan hak mereka kepada pihak manapun karena merasa memiliki hak dan kewenangan penuh atas lahan mereka lewat kepemilikan HGU.  Pernyataan ini sesuai dengan isi surat yang dikeluarkan oleh Direktur PT. Gula Putih Mataram (GPM) dengan Nomor Surat 001/DIR-GPM/IP/II/2012.

HGU sendiri diatur dalam pasal 28-34 UU no.5 Tahun 1960 tentang peraturan dasar pokok-pokok Agraria, dalam peraturan tersebut dinyatakan bahwa memang pemegang HGU memiliki hak atas lahan yang dikelolanya.  Namun, bila kita menengok pada penjabaran peraturan pemerintah no.40 tahun 1996 tentang Hak Guna Usaha, maka jelas diketahui bahwa tanah yang memiliki HGU adalah tanah milik negara.

Jadi sebenarnya tanah yang dikelola oleh SGC jelas merupakan tanah milik negara.  Lagipula, SGC dalam beberapa tahun ini memang memiliki masalah terkait dengan luas wilayah lahan yang tercantum dalam HGU. 

Tahun 2015 lalu, komisi II DPR RI meminta Badan pertanahan Nasional(BPN) untuk mengukur ulang luas wilayah HGU yang dimiliki SGC.  Diketahui data luas wilayah dalam HGU yang dipegang SGC adalah seluas 89.956,48 ha, faktanya, berdasarkan laporan Forum Perjuangan Masyarakat dan Kepala Kampung (FPMKK) Tuba, luas pengelolaan wilayah di lapangan mencapai 138.904 ha.  Sehingga dikhawatirkan kelebihan luas wilayah itu adalah perampasan hak-hak warga atas tanah ulayat.

Pemerintah daerah juga diharapkan mampu menengahi permasalahan ini, sebab, setelah sekian lama terbengkalai belum juga ada penyelesaian konkrit atas pembebasan lahan yang dikelola SGC.  Jangan sampai faktor relasi antara jajaran direksi SGC dan pemerintah menjadi penghalang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline