Hidup berdampingan manusia dengan harimau bisa terwujud dengan mengkombinasikan kearifan lokal, kesepakatan pemerintah dengan masyakarat terkait pertanian di kawasan konservasi, hingga menjaga populasi satwa mangsa harimau.
Bicara soal harimau Sumatera (Phantera tigris sumatrae) berdampingan dengan manusia, saya selalu teringat dengan cerita ibu saya tentang masa kanak-kanaknya ketika tinggal di Rumah Gadang, di pinggiran Kota Padang 1945-an dan kakak ibu waktu sebelum perang.
Ibu pernah melihat kakaknya membuang makanan dari jendela berupa daging atau ayam dari jendela ke bawah. Katanya untuk harimau yang sedang berada di kolong.
Harimau di sini dipercaya adalah harimau jejadian alias manusia harimau bisa jadi, jelmaan Datuk masih kerabat dalam satu kaum. Datuk itu dipercaya melindungi kaumnya dari berbagai macam gangguan dan untuk itu harus dihormati.
Itu hanya kepercayaan atau kearifan lokal, namun cerita memperkuat narasi yang saya baca ketika saya kuliah di Jurusan Sejarah Fakultas Sastra UI (sekarang Fakultas Ilmu Budaya) bahwa orang Minang menghormati harimau dan hidup berdampingan dengan satwa liar itu dengan harmonis.
Bisa jadi pemberian makan membuat harimau tidak memangsa ternak. Bisa jadi konflik jarang, karena warga kampung waktu itu sudah pulang sebelum mahgrib dari ladang. Waktu harimau berburu.
Bukan saja Sumatera Barat, tetapi hampir seluruh daerah di Bumi Andalas ini punya kearifan lokal terakait harimau. Masyarakat Kerinci Jambi percaya harimau adalah jelmaan prajurit leluhur dan mereka menjulukinya sebagai Iamaw Srabat atau Iamaw ulubalang yang akan melindungi manusia dari kejahatan. Sebangun dengan cerita ibu saya di Sumatera Barat.
Kearifan lokal ini juga dimiliki oleh masyarakat di Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Selatan dan Lampung dengan berbagai versi. Namun semuanya menghormati harimau.
Agung Nugroho dari komunitas Forum Harimau kita, representatif Sumatera Barat mengungkapkan orang Sumatera Barat menyebutnya sebagai Inyiak, itu panggilan penghormatan kepada haramau sebagai satwa langka yang dihormati.
Fungsinya yang penting bagi ekosistem dan berperan penting dalam budaya Minangkabau sebagai satwa kharismatik yang sering sebagai penunjuk jalan dengan jejaknya bagi peladang yang tersesat di hutan.