Enam remaja masih mengenakan seragam SMA, menumpang sebuah mobil yang dikemudikan oleh salah seorang di antara mereka menembus keheningan alam dari Jakarta menuju Leuwueng Hejo, kawasan hutan yang kondang dengan keangkerannya. Tujuannya bukan hanya berkemah, tetapi juga membuat video untuk keperluan vlogger agar eksis di jagat maya.
Diaz (Angga Yunanda) mengingatkan kepada kawan-kawannya agar selama di tempat itu tidak melanggar hal-hal yang tabu, di antaranya berisik, mengumpat, membuang sampah sembarangan, tidak mengambil sesuatu dalam hutan itu.
Bisa ditebak, beberapa di antara mereka melanggar larangan itu. Ada yang mengucapkan sumpah serapah, ada yang membuang bekas pembalut, bahkan ada yang mengambil sesuatu. Akibatnya Diaz mengalami kesurupan, bertemu nenek yang menyeramkan, hingga anak kecil yang tunawicara.
Keyla (Isel Frirsella) malah membawa anak kecil ke Jakarta. Berbagai hal yang menyeramkan hingga petaka yang merengut jiwa dua di antara mereka terjadi. Kemudian mereka yang masih hidup menyadari bahwa mereka sudah membuka gerbang bagi penghuni dari alam gaib yang tadinya terkunci di Leweung Hejo untuk keluar.
Di sisi lain Keyla mempunyai rahasia keluarga yang kelam berkaitan dengan anak kecil dan Leuwueng Hejo. Hal yang sama juga dirasakan Oma dari Diaz (Laksmi Notokusummo), yang juga punya kaitan dengan hutan keramat itu. Bahkan Sang Oma sudah siap tempur.
Dari plot ceritanya, Tabu: Mengusik Gerbang Iblis tergolong "old school horor" yang kini sedang tren, setelah keberhasilan Pengabdi Setan, diikuti Asih. Seperti halnya film horor klasik era 1970-an hingga 1980-an, ciri khasnya adanya arwah jahat, mahluk astral, orang kesurupan hingga hadirnya praktisi spiritual yang bertugas mengusir para "alien" dari dimensi lain itu. Di dunia Hollywood The Exorcist (1973) menjadi ikon film horor jenis ini.
Dalam film "old school horor", penonton disuguhi adegan menakutkan tanpa jeda, yang membuat harus menahan nafas dan jujur saya juga dibuat takut dan tidak bisa menebak bagaimana akhir dari film yang disutradarai oleh Angling Sagaran dan diproduseri oleh Chand Parwez.
Beberapa adegan seperti orang keserupan melayang ke udara hal yang biasa bagi sinematografi film kategori ini. Saya tidak terlalu terkesan. Kesurupan massal di sekolah, mungkin berpijak pada berapa kasus yang pernah terjadi dan diberitakan merupakan terobosan dari pakem itu agar tidak terkesan klise.
Ruangan rumah Diaz yang berubah menjadi hutan belentara mengingatkan saya pada Jumanji, sebuah film fantasi Hollywood. Namun bagaimana pun juga merupakan sebuah terobosan. Namun adegan yang paling seram menurut saya ialah adegan di rumah Keyla, karena yang diteror adalah Sang Ibu (Mona Ratuliu) yang sebetulnya tidak terkait dengan perbuatan anaknya.
Terlepas dari akhir yang tidak saya suka, tapi bagi penggemar film horor akan terpuaskan dahaganya. Bagi saya yang melegakan adalah tidak kembali muncul adegan perempuan muda sedang mandi, film horor Indonesia 1990-an.
Sinematografi tidak terlalu bermasalah, walau seperti kebanyakan film horor Indonesia selalu ada lubang, seperti mengapa sekolah dan polisi menganggap kematian dua murid satu sekolah berturut-turut sebagai hal yang serius.