Yang paling membuat kening saya berkerut para remaja itu pergi berkemah dan mendaki gunung dengan pakaian SMA-walau di tempat kemah berganti. Di tempat berbahaya tidak ada seorang pun penjaga hutan. Â Jelas ada papan larangan masuk yang ditabrak. Â
Dari departemen kasting, Â Chand Parwez merekrut wajah baru mulai dari sutradara maupun bintang muda kelahiran 2000-an bertujuan untuk memberikan energi baru bagi perfilman Indonesia. Hasilnya memang para pelaku memang pas untuk tokoh anak SMA, dari segi wajah maupun gestur dan bahasa anak zaman sekarang. Â Natural. Â Â Â
Dari segi tema mengunjungi tempat keramat  dan membawa mahluk astral bukan hal yang baru, seperti film Alas Pati, juga berkaitan dengan tokoh-tokoh  generasi milenial, yang ingin membuat video agar eksis dan juga tempat keramat.  Polanya hampir sebangun para pelaku mengusik sesuatu dan membuat para mahluk astral itu ganti berkunjung menebar teror.Â
Konyolnya, para pelaku di sejumlah adegan selalu sendirian di rumah yang besar, apa tidak ada orangtuanya, satpam? Tetangga yang terusik dengan bunyi  gaduh.  Ini kebanyakan film horor melupakan masyarakat kita masih banyak yang kepo (bahasa anak muda ingin tahu)  dan guyub, sekalipun sikapnya individualis. Â
Untuk selanjutnya para sineas sepatutnya melakukan riset  yang  lebih dalam dalam mengangkat film horor berkaitan dengan legenda. Sekalipun ceritanya fiksi dan sekadar hiburan, tetapi bisa menstimulus penonton, terutama generasi milenial untuk googling atau ke perpustakaan. Â
Gunung Hejo dan Budaya Tabu  Â
Sayangnya dalam Tabu: Mengusik Gerbang Iblis tidak dijelaskan  di mana persisnya Leuweung Hejo, kecuali disebut sekian jam dari Jakarta.  Faktanya mungkin tempat yang dimaksud kawasan di wilayah Kabupaten Purwakarta,  yang disebut Gunung Hejo yang berkaitan dengan cerita pertapaan Prabu Siliwangi.
Referensi tentang Gunung Hejo  yang menarik diungkapkan oleh Komunitas  Aleut yang tidak persis dengan apa yang ada dalam cerita film ini, misalnya melewati terowongan di bawah jalan told an ada titian anak tangga, sementara dalam film melewati jalan setapak kecil (1).Â
Faktanya: kawasan itu dikeramatkan dan dijadikan tempat persugihan.  Hal yang sama juga dituturkan A Suryadi dalam bukunya Masyarakat  Sunda: Masyarakat, Budaya dan Problema,  bahwa Gunung Hedjo dianggap sebagai tempat munjung  (persugihan).Â
Kalau soal  tabu  dalam  masyarakat  Sunda dituturkan dengan baik oleh  Edi S Ekadjati dalam bukunya Kebudayaan Sunda: Suatu Pendekatan Sejarah dengan mengacu pada masyarakat Kenekes yang percaya  bahwa ada tiga alam, Buana Nyungcung tempat bersemayam Sang Hyang Kersa  letaknya paling  atas, Buana  Panca Tengah tempat manusia dan mahluk lainnya, serta Buana Lareng, yaitu neraka.
Ada tiga tabu  yang tidak boleh dilanggar, yaitu tabu untuk melindungi kemurnian sukma manusia, tabu melindungi kemurnian mandala, di antaranya tidak mengusik tempat tertentu dan tabu melindungi tradisi (2).