Lihat ke Halaman Asli

irvan sjafari

TERVERIFIKASI

penjelajah

Bukankah Tayangan Televisi Cerminkan Pemirsanya?

Diperbarui: 27 Maret 2018   12:08

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

(sumber gambar: popmagz.com)

Saya percaya apa yang disajikan di televisi merupakan cerminan pemirsa atau penontonnya. Setidaknya dapat mewakilkan keinginan penontonnya. Jika ada program yang mempertunjukkan perilaku bullying atau risak sebagai hal yang lucu dan bukan sebagai hal yang mengkhawatirkan, tidak mengherankan kalau kenyataannya perilaku bullying di sekolah, kampus, hingga di lingkungan pemukiman masih kerap terjadi.

Saya tidak heran kalau masyarakat Indonesia begitu terpesona kepada gemerlap hidup selebritas, karena itu keinginan di bawah sadarnya. Tayangan infotainment lebih banyak bertebaran hampir di semua stasiun televisi dengan isi mengupas kehidupan pribadi selebritas, termasuk masalah rumah tangga, selingkuh, pelakor dan sejenis itu. Bukankah acara tersebut memenuhi kebutuhan masyarakat yang menyukai gibah?

Begitu juga pilihan terhadap tontonan sinetron, entah itu jenis drama atau komedi situasi, hanya ada dua tema besar yang saya amati. Yang pertama yang menampilkan kemewahan para tokohnya dengan segala intrik pelakunya, sebangun dengan telenovela, Bollywood, hingga drama K-Pop. Tidak ada yang berubah, kecuali kemasannya.

Termasuk juga drama yang katanya berbau religi yang salah kaprah. Soundtrack-nya memang religi dengan pelakunya yang menggunakan busana muslim, tetapi inti ceritanya sebetulnya 11-12 dengan tayangan sinetron tahun 1990-an.

Yang kedua, ialah tayangan tentang kehidupan orang pinggiran, kampung, seperti Tukang Ojek Pengkolan dan Dunia Terbalik yang penontonnya mencapai ratusan hingga ribuan episode. Ada pemirsa menyukai tayangan ini karena memang serupa dengan apa yang mereka rasakan sehari-hari. Sebetulnya juga hal yang baru, karena formula itu sudah dipelopori Si Doel Anak Sekolahan.

Karena formula itu laku, maka stasiun televisi berlomba-lomba membuat program yang sama, seperti halnya infotainment, acara musik, reality show, dan akhirnya stasiun televisi hampir tidak punya karakter.

Terobosan membuat sinetron seperti Salah Asuhan, seperti yang saya duga, dihentikan di tengah jalan dengan alasan rating menurun. Sebetulnya banyak sinetron yang serupa yang punya visi, tetapi apa boleh buat, harus tunduk dengan kondisi pasar. Tidak ada pertanggungjawaban, pokoknya ganti saja.

Bagaimana dengan tayangan religi? Guru Besar Ilmu komunikasi UIN Bandung dalam tulisannya Citra Baru Islam dalam Pikiran Rakyat, 27 Februari 2018 menyebutkan, televisi lebih banyak menyajikan tayangan keislaman yang lebih bernuansa guyonan tidak serius, kasual, dan cenderung lebih mudah diterima logika masyarakat awam.

Itu sebabnya televisi lebih banyak menampilkan Ustad Maulana karena lebih mudah dicerna masyarakat muslim umum di Indonesia ketimbang sajian Islam dalam corak pemikiran Quraish Shibab. Kecuali jika pemirsa ingin mencari kedalaman pemaparan tentang substansi ajaran Islam. 

Hanya pada momen tertentu, seperti Ramadan hal yang kedua ini dimunculkan.

Bagaimana dengan tayangan musik? Indosiar mencoba menjadikan dangdut sebagai ikonnya, lewat pencarian bakat mulai Akademi Dangdut Indonesia hingga Asia. Di satu sisi saya salut terhadap upaya ini. Untuk pertama kalinya dangdut "menyatukan" Sabang sampai Merauke, bahkan juga Asia Tenggara.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline