Lihat ke Halaman Asli

BBM Dua Harga, Siapa Untung?

Diperbarui: 24 Juni 2015   14:36

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13668894361173685605

[caption id="attachment_257156" align="aligncenter" width="576" caption="Ilustrasi/Admin (Harja Saputra)"][/caption] Harga minyak mentah terus merangkak naik. Pada perdagangan hari Rabu, 24 April 2013, minyak mentah jenis Brent ditutup pada level USD101.73 per barel. Kenaikan ini sepertinya akan terus terjadi mengingat kapasitas produksi minyak dunia kalah besar dibandingkan permintaan. Negara pengekspor minyak tentu bahagia karena kenaikan ini, sayangnya Indonesia bukan lagi eksportir minyak (kita masih ekspor minyak, tapi kebutuhan minyak domestik lebih besar dari kemampuan kita memproduksinya, maka kita mengimpor). Ini menambah beban ke anggaran belanja negara. Kebijakan pemerintah yang akan menggunakan dua harga untuk produk barang yang sama diramalkan akan memicu kemelut. Untuk mobil pribadi, bensin jenis Premium dijual dengan harga baru Rp 6500. Untuk kendaraan umum dan sepeda motor, dijual dengan harga lama, Rp 4500. Pemilik mobil pribadi sudah tentu punya kocek lebih tebal dari orang yang hanya mampu beli sepeda motor. Sekilas tampak sebagai solusi yang adil. Benarkah? Di negara yang peraturan bisa diutak-atik celahnya untuk memeroleh keuntungan pribadi, saya agak ragu. Siapa yang diuntungkan kebijakan ini?

  1. Pengusaha SPBU
  2. Supir angkot.

Pengusaha SPBU untung. Penyebabnya sederhana. Perbedaan harga jual dengan selisih Rp 2000 per liter. Pengusaha SPBU terima bensin Premium dengan harga subsidi. Bagaimana bila bensin premium bersubsidi tersebut lalu dijual sebagai bensin premium non-subsidi? SPBU akan semakin sering memajang papan pengumuman "Bensin habis" di pompa bensin yang melayani kendaraan roda dua, sementara di pompa bensin yang melayani mobil pribadi terus beroperasi. Jika Anda pemilik sepeda motor yang sedang kehabisan bahan bakar, mau tak mau, Anda akan terpaksa mengisi menggunakan BBM non subsidi (atau Anda lebih suka mendorong sepeda motor dan menganggapnya olahraga?). Anda sebagai pemilik kendaraan roda dua tetap tidak menerima subsidi Rp 2000 tersebut. Subsidi itu masuk kantong pengusaha SPBU. Supir angkot untung. Dengan beda harga yang cukup besar, apakah ada jaminan bahwa supir angkot tidak akan memanfaatkan kendaraan umumnya sekedar untuk membeli bensin subsidi lalu menjualnya diluar dengan harga bensin non subsidi? Jika saya supir angkot, saya mungkin akan berpikir begini:  Saya beli bensin subsidi 20 liter dengan harga Rp 4500 dengan mengendarai angkot milik saya. Saya keluar modal Rp 90.000. Alih-alih menggunakannya untuk mengantarkan penumpang, saya keluarkan lagi bensinnya untuk saya jual eceran dengan harga non subsidi. Jika 20 liter tersebut laku semua, saya untung Rp 40.000. Dengan tiga kali masuk SPBU untuk beli bensin subsidi dalam sehari, saya berpeluang meraih keuntungan Rp 120.000 dalam sehari. Kalau sudah begini untuk apa saya harus keliling antar penumpang? Problem transportasi massal tak kunjung usai, orang akan kembali memilih alat transportasi pribadi.  Harga barang terlanjur naik, subsidi BBM tetap tidak tepat sasaran. Menurut saya kenaikan harga bertahap sedikit demi sedikit lebih baik dari pada sistem dua harga. Menurut saya (lagi), ini cara menyelesaikan problem subsidi yang ruwet. Menurut Anda?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline