Lihat ke Halaman Asli

Joshua

Akun arsip

Melihat Wajah Keraton dan Batik Solo Masa Kini (5-habis)

Diperbarui: 6 Januari 2016   19:30

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

14034321151658587702

[caption id="attachment_330376" align="aligncenter" width="576" caption="Pintu masuk menuju Keraton Solo. (joshualimyadi)"][/caption]

Citizen Journalism Report

Menemukan potensi wisata di sebuah daerah bukan hanya tergantung pada peta ataupun perangkat canggih dengan aplikasi peta saja. Saya percaya bahwa selain untuk berekreasi, menemukan potensi wisata adalah cara untuk melihat keberagaman disebuah negara yang diwakili oleh sebagian kecil pesona yang dapat dinikmati. Seperti halnya saya dan rekan-rekan Kompasianers yang turut serta dalam tur Kompasiana-Deltomed.

Setelah puas menjelajah dunia obat-obatan herbal dengan mengunjungi pabrik PT Deltomed Laboratories di Wonogiri, Jawa Tengah, pada Jumat (13/06/2014), Kompasianers juga dimanjakan dengan wisata Solo dan sekitarnya, Sabtu (14/06/2014). Yang menarik adalah saya dan rekan-rekan dapat mengunjungi beberapa destinasi wisata yang mungkin belum pernah dikunjungi sebelumnya.

Kami awali wisata kami dengan mengunjungi Candi Ceto, sebuah warisan purbakala di kaki Gunung Lawu, Karanganyar, Jawa Tengah. Berada di ketinggian 1496 meter diatas permukaan laut, candi ini menyimpan cerita jejak penyebaran agama Hindu yang sempat masyur di kawasan tengah Pulau Jawa, hingga arsitektur nirmananya yang membelalak pelupuk mata. Lokasi candi yang dekat dengan kawasan wisata Air Terjun Grojogan Sewu di Tawangmangu membuat Candi Ceto mudah dijangkau, apalagi dengan jalanan desa yang mulus.

Turun gunung, kami ngaso dan beristirahat sambil minum teh di Rumah Teh Ndoro Donker. Meski namanya terkesan biru, teh yang disajikan pun tidak demikian warnanya. Kami mencicip teh dengan berbagai varian rasa yang menjadi favorit para pengunjung. Tak ketinggalan kami turut menyesap varian teh yang belum pernah diminum sebelumnya. Ditemani penganan kecil yang memanjakan lidah, saya dan rekan-rekan menikmati semilir angin pegunungan seraya berteduh di rumah teh berarsitektur kolonial Belanda. Rumah teh ini menjadi surga bagi pecinta teh untuk menikmati cita rasa teh dengan suasana pegunungan, kebun teh dan rumah sekaligus. Bahkan saya pun seolah enggan beranjak dari rumah teh itu.

[caption id="attachment_330375" align="aligncenter" width="576" caption="Iga gongso, menu andalan RM Indah, Karanganyar. (joshualimyadi)"]

14034320101381006014

[/caption]

Perjalanan dilanjutkan dengan menikmati makan siang di Rumah Makan Indah di Jalan Solo-Karanganyar, Desa Karangpandan. Berbagai sajian dan jamuan kuliner ala Jawa tersaji apik menggugah selera. Menu yang paling banyak dipesan oleh rekan-rekan Kompasianers, termasuk saya, adalah iga gongso. Iga gongso adalah iga sapi yang dimasak dengan cara ditumis dengan bumbu kecap serta bumbu yang digerus seperti cabai merah, cabai hijau, bawang putih dan bawang merah. Rasanya yang manis pedas gurih meresap dalam daging iga nan empuk. Cara memasaknya pun medium well, hingga saya masih bisa merasakan rasa manis alami dan warna merah muda dari dalam daging iganya. Jika Anda singgah di rumah makan ini, menu ini saya rekomendasikan untuk Anda coba.

Usai makan siang, rombongan kembali melanjutkan tur ke pusat Kota Solo. Perjalanan yang ditempuh relatif lebih cepat, kurang lebih 80 menit. Teriknya mentari membuat Solo terlihat terang benderang. Kami melewati Jalan Slamet Riyadi, salah satu jalan protokol di kota yang terkenal akan kulinernya yang khas seperti tongseng dan tengkleng ini. Ruas jalan ini dipenuhi pusat-pusat bisnis modern perkotaan seperti perkulakan elektronik, bank, sentra batik, pusat pemerintahan, serta merupakan akses menuju Keraton Kasunanan Surakarta.

 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline