Lihat ke Halaman Asli

Jordi Sahat

Mahasiswa

Eksistensi Agama di Tengah Sekularisme dan Intervensinya dalam Dunia Politik

Diperbarui: 26 Maret 2020   21:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Keamanan. Sumber ilustrasi: PIXABAY/Pixelcreatures

Perdebatan publik mengenai agama di Indonesia akhir-akhir ini, menuntut agama itu sendiri dan segala tokoh-tokohnya untuk mulai mengubah paradigma baru dalam kehidupan beragama dan bernegara. 

Bangsa Indonesia yang selalu menjunjung tinggi nilai-nilai Pancasila sebagai fondasi untuk menyusun tata aturan mendukung praktik toleransi dan kebebasan dalam memeluk agama bagi setiap orang. 

Hal ini sesuai dengan kaidah-kaidah yang tertuang dalam butir-butir nilai Pancasila terutama sila pertama yang menandaskan nilai ketuhanan. Pada butir sila pertama ini, setiap warga Indonesia diberi kebebasan untuk memeluk agamanya masing-masing sesuai dengan tradisi dan kepercayaannya. 

Suatu yang menjadi realitas umum di Indonesia adalah pluralitas agama. Pluralitas agama ini menuntut manusia Indonesia untuk bebas menjalankan tradisi atau kepercayaan tanpa menjelekkan atau menghujat umat agama lain dalam menjalankan ajaran agamanya (Bdk. Dori Wuwur Hendrikus, 2002: 118).

Agama dimengerti sebagai pangkal kehidupan manusia untuk mengatur tingkah lakunya di hadapan Tuhan dan sesama. Agama tidak dipahami atau mengajarkan pemeluknya untuk memisahkan satu kelompok terhadap kelompok lainnya, apalagi saling menjatuhkan sesama. 

Hal ini secara nyata dalam keterkaitan dengan eksistensi agama dalam dunia politik. Ada paham yang mencoba untuk memisahkan agama dari ruang politik publik, yakni sekularisme. 

Berbicara mengenai sekularisme bukan hal yang baru, melainkan jauh sebelum, bahkan saat para pendiri bangsa ingin mendirikan Negara Indonesia. Ini terlihat nyata dalam perdebatan antara Bung Karno dan Mohammad Natsir. 

Di mana kedua tokoh ini membahas kedudukan agama dalam Negara Indonesia. Soekarno sebagai tokoh mewakili kelompok Nasionalis ingin membatasi secara tegas peran salah satu agama (Islam) dalam urusan politik, sedangkan Mohammad Natsir yang mewakili kelompok Islamis, berusaha untuk menanamkan nilai-nilai hakiki Islam dalam keseluruhan kehidupan bernegara, termasuk di dalammnya dunia politik (Otto Gusti Madung, 2014: 1). 

Ini berarti agama dan negara merupakan dua kubuh yang menjadi mitra untuk berkolaborasi di dunia politik. Hal ini berimplikasi pada ruang lingkup agama yang selain mengatur hubungan antara manusia dengan Tuhan, tetapi juga mengatur urusan politik. 

Perdebatan dari kedua tokoh ini tidak hanya terjadi pada masa-masa awal pendirian Negara, bahkan usia Negara Indonesia yang akan menginjak usia 74 tahun pun, perdebatan mengenai eksistensi agama masih saja panas diperbincangkan di tengah publik. 

Jika agama harus dipisahkan dari negara, apakah ini menandakan bahwa urusan privat tidak diperbolehkan dalam urusan negara apalagi politik? Sebaliknya apakah negara tidak boleh hadir dalam urusan agama? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline