Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Menyikapi Sengketa Semur Jengkol dengan Pizza di Kompasiana

Diperbarui: 19 September 2021   05:48

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Semur jengkol. Sumber:  https://www.idntimes.com/food/recipe/putriana-cahya/resep-semur-jengkol-yang-empuk-dan-gak-bau

Dua macam makanan yang sangat kontras, semur jengkol dan pizza. Saya mengungkit hal ini karena pernah ada orang Amerika yang suka mengatakan: "Setiap kali saya memakan Chinese food, saya teringat pizza." Pernyataan yang aneh yang ingin saya timpali dengan "Setiap kali saya memakan Western food, saya mengidamkan semur jengkol."

Kenapa saya katakan pernyataan di atas aneh? Karena pizza bukan makanan Amerika, dan tanpa harus mengecek asal usul semur jengkol, saya memiliki keyakinan bahwa mengatakan semur jengkol adalah makanan Indonesia mengandung kebenaran dengan  tingkat kebenaran yang jauh lebih tinggi ketimbang pernyataan aneh tersebut.

Pizza. Sumber: https://bit.ly/3ADariD

Bagaimana menyikapi perbedaan yang sangat kontras ini? Tidak usah saling mencampuri urusan masing-masing. You go your way, I go mine. Kalau mau kelihatan kekontrasannya, kita gunakan bahasa Mandarin: Nizou ni de yangguandao, woguo wo de dumuqiao
(Kau jalani jalan rayamu, kulewati jembatan kayu sebatangku), yang satu mulus, yang satu lagi sulit.
 
Orang Amerika itu tidak bisa mengatakan apalagi memaksa saya, si penggemar semur jengkol, untuk mengapresiasi apalagi menyukai pizza, dan sebaliknya saya pun tidak bisa memaksa dia untuk menyukai semur jengkol. Keduanya setara tapi selera berbeda. Saya tidak perlu minder dengan bau jengkol selama saya memakan semur itu di rumah saya sendiri dan tidak menyebarkan bau kepada orang lain.

Sedikit masalah dengan uraian di atas adalah bahwa saya juga bisa menikmati pizza, sekali sekala karena bukan makanan pokok saya sehari-hari. Saya juga tidak perlu mengangankan orang Amerika itu kelak bisa mengapresiasi semur jengkol walaupun kalau dia bisa, itu adalah hal yang sangat baik, saya jadi punya teman bule yang juga menyukai semur jengkol dan tidak khawatir dia tidak suka baunya.

Selanjutnya, mengapa saya bawa-bawa Kompasiana dalam judul artikel ini? Ya tentu berkaitan dengan urusan tulis menulis.

Seorang penggemar pizza akan bisa menulis dengan sangat baik segala sesuatu yang berkaitan dengan pizza, demikian juga si penggemar semur jengkol.

Kalau ternyata si penulis "jengkolan" selalu meraup K-Rewards tertinggi, itu adalah rezeki dia. Trend terkini dibanjiri oleh para pembaca, entah Kompasianer atau bukan, yang..... menggemari bukan pizza.

Penulis yang menggemari pizza harus nrimo trend ini, berhenti menulis tentang pizza, pindah ke blog lain dengan trend pembaca yang juga sesama penggemar pizza, atau terus dengan passion pizza menulis tentang pizza sampai trendnya berubah dari semur jengkol menjadi pizza, tidak perlu atau tidak punya hak untuk menyampaikan protes kepada pihak mana pun, karena ini hanya akan menumbuhsuburkan pertikaian yang tak ada habisnya, yang malah berpotensi membuat artikel pizza maupun jengkol mengalami penurunan kualitas dan manfaat karena para penulisnya mengalami gangguan konsentrasi.

Yang jelas, jika tidak saling mencampuri urusan masing-masing, semur jengkol dan pizza (maksud saya penulisnya) bisa berteman tanpa mengungkit biang konfliknya kepada satu sama lain.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline