Lihat ke Halaman Asli

Johan Japardi

Penerjemah, epikur, saintis, pemerhati bahasa, poliglot, pengelana, dsb.

Kepuasan Hidup

Diperbarui: 25 April 2021   05:33

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dokpri

Jeffrey Sachs tampak bagi saya sangat "Timur" ketika dia mencurahkan pendapatnya sbb:
Demikian pula, meskipun merupakan salah sebuah negara terkaya di dunia berdasar pendapatan per kapita, Amerika Serikat hanya menempati urutan ke-17 dalam peringkat kepuasan hidup yang dilaporkan. AS diungguli bukan hanya oleh kandidat yang lebih besar kemungkinannya, yaitu Finlandia, Norwegia, dan Swedia, tetapi juga oleh kandidat yang lebih kecil kemungkinannya seperti Kosta Rika dan Republik Dominika. Memang, orang mungkin menduga bahwa kesehatan dan umur panjanglah, ketimbang pendapatan, yang memberikan dorongan terbesar untuk kepuasan hidup yang dilaporkan. Karena ternyata kesehatan yang baik dan umur panjang bisa dicapai pada tingkat pendapatan per kapita yang jauh di bawah tingkat pendapatan Amerika Serikat, demikian pulalah kepuasan hidup. Seorang pakar pemasaran mengatakannya seperti ini, dengan hanya sedikit dilebih-lebihkan: Barang-barang kebutuhan pokok untuk keberlangsungan hidup itu murah, sedangkan stimulasi-diri narsistik dan produk-produk pamer sosial itu mahal. Biaya hidup tidak besar, biaya pamerlah yang mahal.”
Dikutip dan diterjemahkan bebas dari: Jeffrey D. Sachs, The Price of Civilization.

Saya sependapat dengan Jeffrey dalam hal ini dan saya merasa sangat bersyukur bahwa saya tidak terjebak dalam gaya hidup pamer yang disebutkan di atas. Sebenarnya kearifan Indonesia telah mengajar dan mengingatkan kita untuk menempatkan sandang, pangan dan papan sebagai prioritas dalam menjalani hidup kita. "Kebutuhan" di luar yang tiga ini sebenarnya sudah lebih mengarah ke "pamer" itu. Kita juga sudah dibekali dengan kearifan lain Indonesia, "Jangan besar pasak dari tiang" dan kearifan Jawa "nrimo" yang antara lain bisa diejawantahkan sebagai "banyak pun kurang, sedikit pun cukup," tinggal kita atur pengeluaran kita sesuai dengan pemasukan.

Celakanya, entah apa yang menyebabkan sebagian orang "lari fokus" dari "memenuhi kebutuhan" ke "memenuhi keinginan," sehingga lebih mementingkan "pamer" ketimbang kebutuhan pokok. Saya amati bahwa ini adalah proses perubahan yang mengubah kebiasaan manusia, dan akhirnya orang merasa lebih nyaman berada dalam "zona pamer" tersebut.

Manusia adalah makhluk kebiasaan, namun kebiasaan itu bisa diubah.

Saya pernah menyaksikan seseorang dengan gaji pas-pasan melakukan pembelian secara kredit untuk barang-barang mulai dari elektronik dan perabotan rumahtangga, HP, lalu sepeda motor. Akibatnya, orang tersebut selalu berada dalam posisi "terbelakang 1 bulan." Maksudnya, untuk menutupi semua cicilan itu, dia harus kas bon di kantor, beberapa hari setelah gajian setiap bulannya, dan entah bagaimana caranya, dia memiliki beberapa kartu kredit untuk mendukung gaya hidupnya yang berfoya-foya (lavish life-style) itu.

Ada orang yang malah membuat guyonan tentang gaji yang tak pernah cukup itu sbb:
Kalau disuruh milih, kamu milih mana, gaji 12 pas, atau 8 koma? Teman yang ditanyai mengira bahwa satuan bilangan yang disebutkan itu adalah dalam jutaan Rupiah, dan baru sadar ketika teman yang bertanya itu menjawab sendiri pertanyaannya: "12 pas maksudnya habis gajian, uangnya hanya bisa bertahan sampai dengan tanggal 12, sedangkan 8 koma maksudnya habis gajian, tanggal 8-nya kamu sudah dalam keadaan koma."

Dalam keadaan yang kurang lebih seperti dua skema gaji di atas, ada orang yang sampai mengirit makan dan dengan uang yang sangat terbatas dia malah lebih mementingkan isi pulsa HP. Istilah orang Sumatera Utara: BIMAS (Biar Mati Asal Steady/Gaya). Sungguh ironis.

Bagi saya, boros, itu pun kadang-kadang saja, bukan jadi kebiasaan, masih tidak jadi masalah. Boros dalam pengertian tidak sampai berhutang untuk menunjang gaya hidup (itu namanya foya-foya), jadi itu berarti sesekali mengeluarkan uang lebih, tetapi tetap di dalam batas kemampuan menghasilkan uang.

Gaya hidup pamer yang identik dengan foya-foya itu merasuki bukan hanya orang Barat, tetapi juga orang Timur, bukan hanya orang yang penghasilannya berkecukupan, tetapi juga yang minim penghasilan. Mari kita gunakan nalar dan kearifan Indonesia agar tidak terjerumus ke dalam lubang yang sama!

Saya contohkan di sini, tentang pak Gember, tokoh fiksional dalam cerita humor saya, Makmur dan Santun:
Pak Gember adalah seorang CEO di sebuah perusahaan skala menengah, punya rumah gedung bertingkat dua yang luas, tapi:
1. Tidak ada PRT yang betah bekerja di rumah itu, karena gajinya sangat kecil, dan pekerjaannya sangat berat. Pekerjaan di rumah itu semestinya dikerjakan oleh minimal 2 PRT, tapi boro-boro menggaji 2 PRT, pak Gember dan bu Mobani lebih memilih gonta-ganti PRT.
2. Di rumahnya, pak Gember memiliki sebuah kolam renang yang semula dipakai oleh anak-anaknya, tapi lama kelamaan, kolam renang itu dibiarkan terlantar dan berlumut, dengan alasan "tak punya waktu membersihkan" dan biaya ganti air sangat mahal.
3. Namanya saja tinggal di rumah gedongan, namun uang bulanan bu Mobani selalu pas-pasan, malah tak cukup, dan untuk tetap mempertahankan gaya hidupnya, bu Mobani yang berkesulitan meminta uang tambahan dari suaminya yang adikedekut (istilah saya untuk superpelit) itu, terpaksa menukar harga dirinya dengan menerima "santunan" dari beberapa temannya yang "the real crazy rich."
4. Anak-anak keluarga ini, utamanya si Makmur, dalam usianya yang semakin bertumbuh, semakin kuat makan, sehingga sampai menghilangkan rasa malunya dan berhutang makan siang di kantin sekolahnya. Pak Gember yang diberitahu istrinya dan diminta untuk menaikkan biaya daily allowance si  Makmur malah dengan enteng menjawab: "Bayar aja hutangnya di kantin."
5. Meanwhile.................
Keluarga pak Gembel punya pengeluaran rutin mingguan yang tidak bisa ditawar-tawar: karangan bunga besar, entah untuk suasana berduka-cita maupun bersukacita, tentunya dengan nama mereka yang juga terpampang besar pada papan itu.
6. Dan segudang contoh lainnya.

Untuk tidak terjebak dalam kebiasaan membeli secara kredit walau 1 kali pun, saya punya prinsip yang sangat bagus: "Jangan pernah membeli secara kredit, kalau uangnya tidak cukup, kaji ulang barang yang hendak dibeli itu, kalau memang betul-betul dibutuhkan, simpan sampai uangnya cukup dan beli tunai. Saat barang itu dibeli kemudian, biasanya harganya sudah turun, karena ada produk lebih baru yang telah diluncurkan."

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline