Lihat ke Halaman Asli

Jason A. Mailangkay

A lonely heart meditates

Senja Tanpamu

Diperbarui: 9 November 2017   23:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kususuri jalan setapak di dalam taman pelan-pelan. Ah, ya, tak  terhitung berapa kali dahulu kita melewati jalan setapak ini pelan-pelan sambil tertawa riang dibawah sinar matahari hangat atau kadang kala dibawah hujan saat bulan November. Kau tampak begitu bahagia berjalan disampingku, sambil membawa tas berwarna biru kesayanganmu itu, dan rambutmu yang kau biarkan tergerai karena jika lama dikuncir, migrainemu akan kambuh dan kau akan mulai mengeluh sambil menyender di bahuku. Tak terhitung pula berapa kali kita berseteru akan hal-hal kecil yang jika dpikir sekarang, rasanya bodoh dan berdasar. 

Langkahku semakin memelan hingga akhirnya terhenti sepenuhnya di samping lapangan, dimana dulu kita duduk di tengahnya, sambil mengobrol, sesekali kugenggam tanganmu pelan, sesekali kubelai rambut panjangmu itu, sesekali juga kusentuh wajahmu dan bersyukur dalam hati kau milikku. Di lapangan itu juga kita pertama kali kucium bibirmu dengan lembut dan kau sambut dengan hangat dan tanpa hambatan. Rasanya hari-hari itu telah terlewati begitu lama. Ya, sudah hampir 2 bulan sejak kau memilih seseorang lain untuk melakukan semua itu bersamamu. Semua kurasa tetap sama untukmu, hanya saja dengan orang berbeda.

Nampaknya segala usahaku terbuang ke drainase begitu saja. Semua kesabaranku menghadapi amarah-amarah kecilmu yang tak jarang tanpa dasar, semua waktuku yang kuhabiskan bersamamu, semua enerji yang kukerahkan hanya untukmu seorang, nampaknya begitu tak berharga dan tak berguna bagimu. Memang aku bukanlah orang yang bisa terus-terusan bersenang hati atau terus-terusan membuatmu tertawa. Aku juga tidak berbakat dalam berbicara panjang lebar. Sementara engkau kebalikan diriku dalam hal-hal ini. Namun tak ada artinya kah untukmu semua yang telah kulakukan bagimu?

Tidak. Kurasa jawaban hatimu sebenarnya ialah tidak. Mulut bisa berdusta, mata tidak. Ketika kutanyakan hal itu padamu sebulan lalu, jawabanmu hanyalah, 'tentu saja berarti, namun, hanya saja kelihatannya kita tidak dibuat untuk satu sama lain,' jawabmu dingin. Tanpa sadar aku telah berjalan melewati lapangan tadi dan tanpa sadar pula mukaku sudah terbenam dalam tanganku. Kuhela nafas dan kupejamkan mata. Di seberang jalan nampak restoran favoritmu. Aku masih hafal persis makanan kesukaanmu, minuman kesukaanmu dan sebagainya.

Aku tak dapat menemukan alasan logis mengapa aku menyusuri jalan-jalan yang dulu sering kita lewati bersama. 'Hanya bernostalgia sesaat,' pikirku. Namun apalah kegunaan semua ini selain menyiksa batin? Kurasa memang ada nikmat dalam sengsara. Ada sebuah rasa yang membuat candu, yang kadang kala tak dapat kukendalikan. Kuurungkan niatku untuk memasuki restoran itu. Kulanjutkan perjalanan kecil ini hingga sampailah pada gerbang kompleks rumahmu. Ya, di tempat inilah kau menguburku dalam-dalam dan masih kuingat jelas kata-katamu waktu itu, 'kita pun pernah berbahagia kan? Kenanglah yang bahagia-bahagia itu,' begitu ringan bagimu, begitu dalam sayatan yang tertinggal di diriku. Kini setiap hari kujalani tanpa senyummu, tanpa tawamu dan saat pulang, harus kulalui senja tanpamu.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline