Lihat ke Halaman Asli

Dunia Dibelah Mantan

Diperbarui: 6 Januari 2019   15:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Suatu pagi aku terdiam di bawah pohon rindang ujung desa. Deretan bukit mengelilingi kampung tempat aku tinggal. Pepohonan lebat tampil sebagai penghias utama dan kicau burung sebagai pelengkap pemandangan ini. Sungguh aku tak menyangka kamu pergi tanpa pamit kepada mereka dan aku. Mereka adalah saksi bisu sewaktu kita bergumul dalam kelam malam dan melepas energi membentur semesta. Kamu kenapa?

Logika meruntuh sewaktu kumpulan kisah cinta berputar terus. Aku kesal dan tidak tahu meledakan amarah kemana. Kamu sudah pergi tanpa tinggal jejak. Orang tua hanya mampu memberi sebutir nasihat berupa kata-kata penghibur. Namun hidup bukan soal hiburan semata melainkan soal cinta dan pengkauan diri.

Tanpa kamu di sisi aku bukanlah manusia normal. Tidak ada lagi torehan kata-kata romantis dalam nurani. Tidak ada lagi torehan garis amarah di atas kertas sebab rasa telah meluruh digondol kamu. Hidupku sudah tidak berseni. Hidupku adalah kehampaan. 

Malam membeberkan rupa sempurna rembulan. Semilir hembus angin menembus danging membentur tulang sumsum. Apa kamu tidak takut mati dingin. Ayo, kembalilah kamu dalam pelukan dan meleburlah dalam fantasi sesaat. Apa kamu tidak rindu pada aroma tubuhku!

Nafas kubuang berat-berat. Kubentangkan tali di atas pohon dan kubuat simpul yang kira-kira muat diisi kepala. Kepala kumasukan ke dalam simpul tali dan kupastikan agar melekat erat mengelilingi batang leher. Mata menutup, tekad membulat, pikiran menjadi kosong, dan kulemparkan tubuh menuju hukum gravitasi. 

Sampai jumpa kamu!




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline