Lihat ke Halaman Asli

Sumpah yang Mati, Hukum yang Mandek

Diperbarui: 30 September 2025   20:56

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Artikel F. Rahardi berjudul Fobia Ulat Bulu di Republik Hantu terasa sederhana, tapi pesannya sangat dalam. Rahardi memadukan isu lingkungan dengan kritik sosial yang tajam. Ia menunjukkan bahwa ledakan populasi ulat bulu bukan ancaman besar, melainkan cermin ketakutan berlebihan masyarakat. "Saat ini yang rusak bukan sekadar alam dan lingkungan, melainkan juga moralitas para pemimpin," tulisnya. Dengan gaya satir, ia membalik cara pandang kita: ulat bulu yang sering dianggap menjijikkan justru bisa bermanfaat. Yang lebih berbahaya justru kepanikan massal dan lemahnya kepemimpinan dalam memberi edukasi.

Penulis menyampaikan gagasannya dengan menggabungkan data alam, pengalaman pribadi, serta kritik sosial. "Menghadapi fenomena ledakan populasi ulat bulu, dunia pendidikan telah salah menanamkan perilaku cinta lingkungan kepada anak-anak." Dari sini kita melihat bahwa masalah bukan terletak pada ulat, melainkan pada cara kita mendidik dan memimpin masyarakat. Ulasan Rahardi membuka cara pandang baru bahwa fobia kolektif akan selalu merugikan diri sendiri, apalagi bila terjadi secara massal dan berkepanjangan.

Berbeda dengan Rahardi, Tempo melalui editorial berjudul Sandiwara Pengusutan Pagar Laut Ilegal menyoroti persoalan hukum dan politik yang jauh lebih berat. Kasus pagar bambu sepanjang 30 kilometer di perairan Banten mestinya mudah diusut, tapi justru penuh tarik-ulur antarinstansi. "Semrawutnya penanganan kasus ini akan menambah ketidakpercayaan publik terhadap pemerintah," tulis redaksi. Fakta dan dokumen sebenarnya jelas, bahkan Tempo mencatat, "Penelusuran Tempo dalam dua pekan terakhir mendapatkan banyak dokumen dan keterangan masyarakat yang menguatkan dugaan bahwa pemasangan pagar laut ilegal sudah lama dirancang."

Editorial ini tidak sekadar mengkritik lambannya aparat, tetapi juga memberikan solusi: presiden harus turun tangan memastikan kasus diusut tuntas. "Prabowo harus memastikan pengusutan tuntas kasus pagar laut ilegal ini tidak berlarut-larut." Pesannya jelas, hukum tidak boleh berhenti di tengah jalan. Ulasan Tempo menegaskan bahwa penundaan dan tarik-ulur kewenangan hanya akan memperkuat dugaan adanya kepentingan elite di balik proyek besar seperti PIK 2. Jika dibiarkan, kepercayaan rakyat runtuh, bahkan bisa memicu konflik sosial.

Kolom Budiman Tanuredjo berjudul Ketika Sumpah dan Etika Menjadi Teks Mati menyoroti sisi lain dari krisis ini: hilangnya makna sumpah jabatan. "Masalahnya, etika itu hanya menjadi ornamen. Teks mati yang tak punya arti," tulis Budiman. Ia mengingatkan bahwa sumpah anggota DPR yang seharusnya sakral kini hanya menjadi formalitas. "Mungkin karena sudah terlalu lama, anggota DPR lupa akan lafal sumpah yang diucapkannya." Kritik ini menohok karena disertai contoh nyata, upaya DPR merevisi UU Pilkada untuk mengakali putusan Mahkamah Konstitusi, yang jelas bertentangan dengan sumpah mereka sendiri.

Budiman menyampaikan gagasannya lewat refleksi sejarah. Ia kembali pada semangat Reformasi 1998 yang menuntut pemberantasan KKN, penegakan hukum, dan demokrasi yang adil. Namun, setelah lebih dari dua dekade, cita-cita itu belum sepenuhnya terwujud. "Bangsa ini banyak kehilangan 'muazin', namun belum mampu memunculkan 'muazin' bangsa yang baru," tulisnya. Nama-nama besar seperti Bung Hatta, Gus Dur, atau Buya Syafii Maarif memang jadi teladan, tetapi hingga kini sulit menemukan sosok penerus yang berani mengemban integritas serupa.

Kalau tiga tulisan ini dirangkai, terlihat jelas benang merahnya. Rakyat dihadapkan pada ketakutan yang dibesar-besarkan, hukum yang mandek, dan sumpah yang dilupakan. Dari Rahardi kita belajar tentang bahaya fobia massal, dari Tempo kita melihat hukum yang bisa jadi sandiwara, dan dari Budiman kita diingatkan tentang sumpah yang berubah jadi teks kosong.

Pertanyaan besar pun muncul: siapa yang akan menjadi "muazin bangsa" berikutnya? Siapa yang mampu menegakkan hukum tanpa kompromi, menjalankan sumpah dengan sungguh-sungguh, dan menenangkan rakyat agar tidak terjebak dalam ketakutan yang salah arah? Tiga tulisan ini sesungguhnya menjadi alarm keras agar bangsa ini tidak terbiasa dengan kemunafikan politik, drama hukum, dan fobia yang menyesatkan.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline