Lihat ke Halaman Asli

Wiranto

Wiranto adalah Guru di SMAN 1 Wonosegoro, Boyolali, Jawa Tengah. Penulis pernah menjadi Pengajar Praktik PGP Angkatan 4. Kini sedang menjadi Fasilitator PGP Angkatan 13. Penulis pernah mengikuti Program Short Course ke University of Southern Queensland, Toowoomba, Australia. Pemenang dan finalis beberapa lomba tingkat nasional, serta menulis beberapa artikel di surat kabar.

Merdeka (Belajar) atau Mati!

Diperbarui: 30 Agustus 2020   22:21

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. pribadi

"Jangan sia-siakan pelajaran yang diberikan oleh krisis. Jangan biarkan krisis membuahkan kemunduran. Justru momentum krisis ini harus kita bajak untuk melakukan lompatan kemajuan..." (Presiden Joko Widodo, 2020)

Bukannya tanpa alasan pekik kemerdekaan "Merdeka atau Mati" dikumandangkan para pejuang kala perang kemerdekaan dahulu. Maknanya jelas, merdeka sepenuhnya menjadi tujuan akhir meski nyawa menjadi taruhannya. 

"Lebih baik mati berkalang tanah daripada hidup dijajah", begitu tekad jiwa pejuang. Kehidupan kehilangan harga apabila terkekang tak merdeka.

Apakah Merdeka Belajar yang santer dikumandangkan akhir-akhir ini mengindikasikan bahwa anak-anak Indonesia belum merdeka dalam "belajar"? Jawabannya tentu "ya", seperti yang diamini oleh "Mas Menteri" Nadiem Makarim dalam sebuah telekonferensi Kemendikbud pada Jumat (14/8/2020) lalu.

"Mas Menteri" menegaskan bahwa Merdeka Belajar dimaksudkan untuk memerdekakan pemikiran bukan hanya peserta didik, tetapi juga guru, serta instusi pendidikan. Merdeka dari apa? Dari penjajahan pola pikir lama mengenai konsep belajar tentunya. Pola pikir belajar yang anti teknologi, anti inovasi, anti perubahan, dan tidak "memanusiakan manusia muda". Pola pikir yang membuat ranking PISA negara ini betah berada di papan bawah.

Sayangnya, belum juga Merdeka Belajar menemukan bentuknya pada masa normal, pandemi global Covid-19 datang menghantam. Pola pembelajaran tatap muka yang menjadi nyawa sistem pendidikan di Indonesia menjadi terlalu berisiko untuk dilakukan. 

Sekira 3.017.296 orang guru dan 45,5 juta siswa di seluruh Indonesia sebagai pelaku utama dalam pembelajaran mengalami gegar budaya, kebingungan metodologis, dan guncangan pola pikir.

Krisis dunia pendidikan akibat pandemi Covid-19 memang tidak hanya dialami negara ini, UNESCO menyebutkan sekira 577 juta pelajar di seluruh dunia juga tidak bisa menjalani proses belajar tatap muka karena 39 negara mengambil kebijakan menutup sekolah.

Fakta di lapangan menunjukkan ketidaksiapan sistem persekolahan dalam mengantisipasi terjangan pandemi. Ketidaksiapan baik dalam cara mengajar maupun penguasaan ketrampilan tekhnologi informasi, yang ternyata menjadi satu-satunya media untuk saling terhubung.

Belum lagi permasalahan akses internet serta kepemilikan gawai sebagai pendukung proses belajar mengajar yang belum merata. Diperparah lagi dengan ketidak-siapan orang tua menjalankan fungsi pendidikan dalam keluarga. Situasi "serba takut, bingung, dan canggung" muncul serta mengancam kualitas SDM. Sebuah kondisi krisis yang berpotensi menyebabkan hilangnya satu generasi (lost generations).

Kini ketika semua strategi "normal" harus dipikirkan ulang, akankah kita memilih mati? Membiarkan krisis menjajah dunia pendidikan bangsa ini? Ataukah kita akan bangkit dan memperjuangkan Merdeka Belajar sesegera mungkin diimplementasikan dalam dunia pendidikan? Pada akhirnya tidak ada pilihan selain "Merdeka Belajar atau Mati".

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline