Lihat ke Halaman Asli

Jeanne Noveline Tedja

Founder & CEO Rumah Pemberdayaan

Kajian Pembangunan Manusia untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak

Diperbarui: 17 Juni 2015   23:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gadget. Sumber ilustrasi: PEXELS/ThisIsEngineering

Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak memegang peranan yang sangat vital atas keberhasilan pembangunan manusia di negara kita.

Saya sangat setuju dengan Jokowi yang mengatakan bahwa kekayaan terbesar sebuah bangsa adalah sumber daya manusianya, bukan tambang minyak, gas alam, atau batu bara. Eksistensi dan kemajuan bangsa akan sangat bergantung pada sumber daya manusia.Oleh karenanya, agar sebuah bangsa dapat bertahan dan mempunyai daya saing, pembangunan (sumber daya) manusia menjadi agenda yang sangat penting, dimana agenda Revolusi Mental termasuk didalamnya.Pembangunan manusia dimulai sejak usia dini, bahkan sejak dalam kandungan ibunya. Pembangunan manusia sejak usia anak atau pembangunan kesejahteraan anak dewasa ini menjadi diskursus penting tidak hanya di Negara kita, tapi di negara manapun diseluruh dunia.

Anak memiliki posisi strategis dalam pembangunan maupun perkembangan peradaban manusia. Pertama, anak merupakan generasi penerus sekaligus menentukan kualitas sumber daya manusia di masa depan. Oleh karena itu, keberlangsungan suatu bangsa ditentukan oleh kondisi anak-anak pada saat ini. Kedua, anak adalah sumber utama angkatan kerja. Kemampuan untuk mengoptimalkan potensi anak-anak akan mempengaruhi kualitas hidup bangsa di masa depan. Ketiga, anak adalah asset peradaban bangsa. Dikemudian hari berbagai inovasi di bidang ekonomi, sosial, budaya, dan teknologi akan terus berkembang secara dinamis dan sanat bergantung dari kualitas anak-anak masa kini.

Pembangunan kesejahteraan anak adalah sesuatu yang harus diupayakan bersama, tak lain karena anak adalah individu yang rentan dan bergantung sepenuhnya kepada orang dewasa.Dalam disertasinya yang berjudul Faith, Family, and Freedom: the Battleground Over Children’s Rights, D’Onofrio mengatakan bahwa anak-anaktidak dapat membela dirinya sendiri dikarenakan masih dalam tahap perkembangan baik secara fisik maupun mental. Mereka dilahirkan dengan kebutuhan untuk mendapatkan perawatan dan perhatian orang dewasa agar dapat hidup dan bertumbuh kembang.Oleh karena itu, hak kesejahteraan melindungi anak untuk menjamin pemenuhan kebutuhan fisik dengan mendapatkan nutrisi yang cukup, tempat tinggal, keamanan, kesehatan fisik dan kesehatan non-fisik, seperti kasih sayang dan stimulus intelektual (dirumah dan disekolah) serta rasa aman secara emosional.D’Onofrio lebih lanjut berpendapat, terdapat hubungan yang erat antara bagaimana anak dibesarkan (secara fisik, emosional, intelektual) dengan kemampuan mereka sebagai orang dewasa nantinya.

Bagaimana seorang anak dibesarkan, akan menentukan kualitasnya sebagai sumber daya manusia yang akan menjadi pelaku pembangunan nantinya.Bagaimana seorang anak dibesarkan adalah bagaimana hak-haknya dipenuhi, dilindungi dan dihormati.Kajian kesejahteraan anak mempunyai landasan filosofis bahwa anak adalah individu yang mempunyai hak yang melekat dan hak tersebut adalah hak supaya kebutuhannya dapat dipenuhi.Namun, terdapat krisis dalam kesejahteraan anak selama ini. Berikut kajian yang saya lakukan mengenai krisis kesejahteraan anak yang terjadi.

Krisis dalam Kesejahteraan Anak

a. Kesejahteraan adalah hak setiap anak

Penempatan anak sebagai agenda penting masih terlihat belum sepenuhnya diterapkan karena literatur-literatur mengenai ‘kesejahteraan anak’ kebanyakan membahas mengenai kesejahteraan anak sebagai sistem pelayanan dan perlindungan anak atau pekerjaan sosial dalam mengatasi masalah anak. Melpignano and Collins (2003, h.159) dalam sebuah survey mengatakan, dalam sejarahnya, praktek kesejahteraan anak menekankan pada penempatan anak-anak yang tidak dapat diasuh oleh orangtuanya karena satu dan lain hal di panti pengasuhan anak. Hal tersebut ditegaskan Ife (2001, h.51) bahwa kesejahteraan anak sudah menjadi bagian ‘major’ dari pekerjaan sosial dimana masalah yang sering muncul adalah mengenai pelanggaran hak anak dan diskriminasi.Padahal, Shireman (2003, h.1-3) berpendapat, kesejahteraan anak harus diupayakan untuk semua anak, bukan hanya bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus saja. Jadi upaya kesejahteraan anak adalah juga upaya untuk mencegah masalah (to prevent problems), selain upaya dalam mengatasi masalah (to remedy problems).Krisis dalam kesejahteraan anak seperti yang diungkapkan oleh Shireman ini disebabkan karena banyaknya masalah anak yang terjadi sehingga sistem kesejahteraan anak menfokuskan diri pada perlindungan anak saja (mengatasi masalah anak), dengan mengesampingkan upaya pemenuhan kebutuhan semua anak sebagai upaya pencegahan terhadap masalah anak.

Kajian kesejahteraan anak mempunyai landasan filosofis bahwa anak adalah individu yang mempunyai hak yang melekat; dan hak tersebut adalah hak supaya kebutuhannya dapat dipenuhi (Shireman, 2003, h.3).Maka state atau Negaraperlu melakukan intervensi untuk melindugi hak anak dan mengupayakan segala kebutuhannya terpenuhi, terutama apabila orangtua tidak dapat memenuhi kebutuhan tersebut. Hal ini ditegaskan Jonson-Reid (2004), “Child welfare intervention may alter the child’s environment, leading to a new level of functioning, through several means” (intervensi dalam kesejahteraan anak akan merubah lingkungan anak, menuju tahapan baru dalam berfungsi, melalui beberapa cara) (h.1-2).

Lebih lanjut dikatakan, “The need with which child welfare policy is primaly concerned are safety, nurture, and guidance sufficient to provide the opportunity to become a productive member of society” (Kebutuhan yang dimaksud dalam kebijakan kesejahteraan anak, memprioritaskan pada kebutuhan atas keamanan, perhatian, dan bimbingan yang dibutuhkan agar anak mendapatkan kesempatan untuk menjadi anggota masyarakat yang produktif) (Shireman, 2003, h.56).Sementara Ife (2001) menegaskan bahwa, “Needs are strongly linked to rights” (kebutuhan sangat berkaitan erat dengan hak) (h.83).Dan dalam hak, ada tanggung jawab Negara / pemerintah untuk memenuhi, melindungi dan menghormati hak tersebut (Ife, 2001,h.33).Tanggung jawab Negara dalam menjamin pemenuhan hak anak, dipertegas oleh Freemantle (2010, h.2) yang mengatakan, “..human rigts discourse argues that government have an international obligation to take proactive steps to improve the health and wellbeing of minority, disadvantaged and marginalized population groups” (diskursus hak asasi manusia berargumen bahwa pemerintah memiliki kewajiban internasional untuk mengambil langkah proaktif untuk meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan kaum minoritas dan marjinal, termasuk kelompok anak sebagai individu yang rentan).

b. Parenthood is the foundation of society

Selain itu yang harus mendapat perhatian lebih adalah bahwa pada kenyataannya, kualitas kehidupan individu, sangat ditentukan oleh kualitas keluarga.Banyak masalah anak sangat berkaitan dengan kondisi keluarga, sehingga keluarga harus menjadi pusat perhatian dalam upaya penyelesaian dan pencegahan masalah anak, demi terciptanya kualitas sumber daya manusia dimasa depan dan menjamin keberlangsungan suatu bangsa.Seperti yang diungkapkan Westman (1999, h.324), “Because children are the citizens of the future, how our society views parenthood is critical to the future of our nations.Without parents who prepare children for adult citizenship, no society can survive” (Karena anak adalah generasi penerus masa depan, bagaimana masyarakat memandang keluarga /orang tua sangat penting bagi masa depan bangsa.Tanpa orangtua yang menyiapkan anak menjadi orang dewasa sebagai generasi penerus, tidak akan ada bangsa yang selamat).Paradigma ini penting untuk dipahami bahwa keluarga tidaklah sebagai ‘pemilik anak’ tapi sebagai pihak yang ‘menyiapkan’ anaknya dengan memenuhi segala kebutuhannya dan menghormati hak-haknya. Seperti diungkapkan Kadushin and Martin (1988:219) dalam Shireman (2003),

There is a growing acceptance of children as separate entities entitled not only to having their needs met but also to having their rights respected.In recognizing children’s rights, society has moved from a perception of children as belonging to their parents to one that sees children as belonging to themselves in the trust of their parents” (Ada perkembangan yang memandang anak sebagai entitas terpisah yang berhak agar kebutuhannya dipenuhi dan haknya dihargai.Dalam mengakui hak anak ada persepsi yang berkembang dalam masyarakat yang melihat anak sebagai individu mandiri dibawah perlindungan orangtua, bukannya sebagai milik orangtua).(h.55)

Orangtua mempunyai tanggung jawab dalam membangun kualitas SDM dimasa depan, seperti yang ditegaskan Westman (1999, h.324) lebih lanjut,

“…this paradigm recognizes that parenthood is not pocessing a child but is furthering a child’s interest so that the child can become a productive member of society.In carrying out this responsibility parents are accountable to society because the way in which they raise their children has profound consequences for society” (dalam paradigma ini diakui bahwa orangtua bukan sebagai pemilik anak tapi sebagai yang mengakomodasi kebutuhan anak sehingga anak menjadi anggota yang produktif di masyarakat.Dengan menyandang tanggung jawab ini, orang tua bertanggung jawab terhadap masyarakat karena cara mereka membesarkan anak mempunyai konsekwensi dalam masyarakat).

Lalu apa tanggung jawab orangtua dalam rangka menyiapkan anak-anaknya menjadi orang dewasa handal dan tangguh di masa depan?Fahlberg (1991:21) dalam Shireman (2003) menjabarkan,

Parents are responsible for creating the environment that helps children achieve their maximum potential in terms of physical, intellectual, and psychological development.The child’s job is to make use of the environment. Neither can accomplish the other’s work, it is only in the context of the parent-child relationship that the child is able to successfully move through the stages of child development. (Orangtua bertanggung jawab untuk menciptakan lingkungan yang membantu anak untuk meraih potensi maksimum dalam hal perkembangan fisik, intelektual, dan psikologis.Tugas anak adalah memanfaatkan lingkungan tersebut. Hal ini merupakan konteks hubungan orangtua – anak yang memampukan anak untuk berhasil dalam tahap perkembangan hidupnya). (h.59).

Oleh karena itu tidaklah berlebihan bila dikatakan bahwa keluarga adalah fondasi dari sebuah bangsa, seperti yang diungkapkan oleh Westman (1999, h.324), “parenthood is the foundation of society” (keluarga adalah fondasi dari sebuah bangsa), sehingga diungkapkan kemudian oleh Shireman (2003, h.1), “child welfare, therefore, is about the welfare of children and families.” (kesejahteraan anak, oleh karenanya, adalah mengenai kesejahteraan anak dan keluarga).Dengan kata lain, bila pemerintah mempunyai kebijakan untuk mewujudkan kesejahteraan anak, maka upaya untuk membangun ketahanan keluarga (termasuk pemberdayaan perempuan dan pengarusutamaan gender) juga harus dilakukan (Shireman, 2003, h.183).Ada pepatah mengatakan: If you empower and educate a girl, you empower and educate a generation.

Analisis dan kesimpulan

Dari kajian tersebut diatas, sangat jelas bahwa agenda pembangunan manusia dan revolusi mental menjadi agenda penting yang harus dilaksanakan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak.Penting untuk ditekankan bahwa kondisi ‘sejahtera’ harus diupayakan untuk semua anak, karena menjadi sejahtera adalah hak setiap anak, bukan hanya anak yang mengalami permasalahan saja. Upaya kesejahteraan anak di Indonesia saya lihat masih berfokus pada penyelesaian masalah (intervensi remedial) bagi anak yang membutuhkan perlindungan khusus (contoh: korban kekerasan seksual, anak jalanan, anak terlantar, dll). Kesejahteraan anak belum diupayakan untuk semua anak.Contoh, saat kasus phedofil di Jakarta International School merebak pertengahan tahun ini, Pemerintah (termasuk KPAI) hanya sibuk melindungi anak yang menjadi korban kekerasan seksual.Bagaimana dengan anak-anak lain yang bukan korban namun juga bersekolah di JIS? Sekolah mereka menjadi headline hamper disemua media, baik cetak, televisi maupun media online. Bagaimana dampak psikologis anak-anak yang bukan korban tidak menjadi perhatian pemerintah.Mereka mempunyai hak untuk pergi ke sekolah, belajar dan pulang sekolah dengan rasa aman dan nyaman tanpa hingar binger media disekeliling mereka.

Oleh karenanya, saya sangat mendukung salah satu upaya yang dapat dilakukan adalah dengan mengembangkan kebijakan Kota Layak Anak (KLA) yang sudah menjadi salah satu kegiatan yang dilaksanakan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) sejak 2006.Menurut saya, pengembangan kebijakan Kota Layak Anak, dan pembangunan ketahanan keluarga harus menjadi agenda utama KPPPA dan harus diselenggarakan di seluruh kabupaten / kota di Indonesia.Dalam konsep kebijakan KLA, terdapat 5 klaster hak anak yang dilindungi oleh Negara, yaitu, Klaster pertama, Hak Sipil dan Kebebasan, mencakup hak mendapatkan akta kelahiran, hak berpartisipasi, hak untuk didengar pendapatnya, hak untuk mendapatkan penghargaan, hak untuk mendapatkan informasi yang sehat dan aman, hak untuk tidak dieksploitasi ke publik. Klaster kedua, Hak Lingkungan Keluarga dan Pengasuhan Alternatif, mencakup hak untuk mendapatkan pola asuh yang baik dan penuh kasih sayang serta seimbang dari kedua orangtua, dibesarkan dalam keluarga yang harmonis, mendapatkan dukungan kesejahteraan meskipun orangtuanya tidak mampu; Klaster ketiga, Hak Kesehatan Dasar dan Kesejahteraan, mencakup hak untuk dilahirkan, mendapatkan ASI, mendapatkan imunisasi dasar, mendapatkan air bersih, mendapatkan perawatan kesehatan, dan jaminan sosial. Klaster keempat, Hak Pendidikan dan Pemanfaatan Waktu Luang mencakup, hak wajib belajar 12 tahun, hak mengembangkan bakat, minat dan kemampuan kreativitas, untuk berekreasi, dan untuk memiliki waktu luang untuk beristirahat dan melakukan berbagai kegiatan seni, budaya dan olahraga.Klaster kelima, Hak Perlindungan Khusus, bagi anak-anak dalam situasi darurat, anak yang berhadapan dengan hukum, anak dalam situasi eksploitasi secara ekonomi dan seksual, korban kekerasan, penculikan, perdagangan, penelantaran, penyandang cacat dll.

Kebijakan Kota Layak Anak menekankan pada intervensi preventif (pencegahan) dan berlaku bagi semua anak tanpa terkecuali, karena hakekatnya semua anak berhak untuk sejahtera.Selain itu konsep kebijakan Kota Layak Anak ini juga mengutamakan peran orang tua (keluarga) dan partisipasi semua elemen masyarakat.Oleh karena itu, pemerintah diharapkan melakukan upaya pemberdayaan keluarga untuk mewujudkan kesejahteraan keluarga dalam rangka mewujudkan kesejahteraan anak.Contoh yang sudah dilakukan di Depok adalah, memberikan pelatihan ketrampilan bagi orang tua anak jalanan (pengemis, pengamen dan penjaja Koran), sehingga apabila orangtua mempunyai ketrampilan untuk mencari nafkah, mereka tidak perlu menyuruh anak mereka mencari uang dijalanan.

Saya percaya, apabila pemerintah yang baru bekerja sama dengan seluruh pemerintah kota dan kabupaten dalam memenuhi hak anak, terutama pemenuhan hak Klaster 1 s/d 4, niscaya jumlah anak yang masuk dalam kategori Klaster 5 akan berkurang jumlahnya.Sehingga intervensi preventif akan menjadi efektif, dan anggaran besar untuk melakukan intervensi remedial (mengatasi masalah anak) akan berkurang.Dan yang lebih penting generasi penerus bangsa kita adalah SDM yang berkualitas karena dibesarkan dalam lingkungan yang ramah anak dimana semua hak-haknya dipenuhi.

Demikian kajian dan analisa yang coba saya buat untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak dalam kabinet yang baru nanti. Bahkan kalau boleh saya usul, agar nama kemeterian dirubah menjadi Kementerian Pemberdayaan Keluarga dan Kesejahteraan Anak.Pemberdayaan keluarga akan tetap juga mengurusi masalah PUG (pengarusutamaan gender dan perlindungan perempuan). Harapan saya, dengan melakukan persiapan sebaik-baiknya terhadap sumber daya manusia sejak usia dini dan melakukan pendekatan pemberdayaan keluarga, SDM di Negara kita akan menjadi SDM kelas dunia yang tangguh dan siap bersaing dengan SDM dari Negara manapun, sehingga Indonesia menjadi Negara yang hebat dan bermartabat.

Daftar Pustaka Kajian

Ife, Jim. (2001). Human Rights and Social Work, Towards Rights-Based Practice, Cambridge University Press, UK.

Freemantle, Jane
(2010). Indigenous Children: Their Human Rights, Mortality, and the Millennium Development Goals, Publication info: UN Chronicle 47.2 (2010): 35-38. Freemantle, Jane
(2010). Indigenous Children: Their Human Rights, Mortality, and the Millennium Development Goals, Publication info: UN Chronicle 47.2 (2010): 35-38.

D’Onofrio, Eve Marie (2004). Faith, Family, and Freedom: the Battleground Over Children’s Rights – Dissertation, Department of Political Science and the Committee on Graduate Studies of Stanford University.

Jonson-Reid, Melissa (2004). Child Welfare Services and Delinquency: The Need to Know More, Publication info: Child Welfare 83.2 (Mar/Apr 2004): 157-73.

Melpignano, Maria & Collins, Mary Elizabeth (2003). Infusing Youth Development Principles in Child Welfare Practice: Use of a Delphi Survey to Inform Training, Boston University School of Social Work. Child & Youth Care Forum, 32(3), June 2003 Human Sciences Press, Inc.

Shireman, Joan (2003). Critical Issues in Child Welfare, New York: Colombia University Press.

Westman, Jack C (2000). Children's Rights, Parents' Prerogatives, and Society's Obligations, University of Wisconsin Medical School, USA.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline