Lihat ke Halaman Asli

Nilai Kejujuran dalam Pendidikan di Era Digital

Diperbarui: 18 Oktober 2025   17:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Sejak awal tahun 2020 hingga 2025, dunia pendidikan Indonesia mengalami perubahan besar dengan semakin luasnya penggunaan teknologi digital dalam proses pembelajaran. Program seperti Merdeka Belajar dan berbagai platform e-learning membawa kemudahan dalam akses materi, fleksibilitas waktu, dan efisiensi komunikasi. Namun, seiring dengan kemudahan tersebut, muncul tantangan etika dan perilaku yang perlu diperhatikan. Salah satunya adalah meningkatnya ketidakjujuran akademik, seperti plagiarisme dan kecurangan dalam ujian daring. Kasus dugaan korupsi dana digitalisasi pendidikan yang mencuat pada pertengahan tahun 2025 memperlihatkan bahwa tantangan integritas bukan hanya terjadi di kalangan peserta didik, tetapi juga di tingkat pengelolaan kebijakan. Dana yang seharusnya memperkuat infrastruktur pendidikan justru disalahgunakan untuk kepentingan pribadi, sehingga mencederai kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan digital.

Akses teknologi yang seharusnya menjadi jembatan kemajuan dimanfaatkan untuk praktik yang tidak jujur. Digitalisasi tidak dapat dipungkiri sebagai kebutuhan penting di era modern, tetapi semua upaya tersebut akan sia-sia jika tidak disertai nilai kejujuran dan integritas. Oleh karena itu, penting untuk menegaskan bahwa keberhasilan transformasi digital di bidang pendidikan hanya dapat terwujud jika prosesnya dilaksanakan secara transparan dan berintegritas.

Digitalisasi dalam Pendidikan di Indonesia

Kejujuran Digitalisasi dalam dunia pendidikan dapat diartikan sebagai proses pemanfaatan teknologi informasi untuk mendukung aktivitas belajar mengajar, komunikasi, serta pengelolaan administrasi secara daring. Menurut penelitian Pemanfaatan Digitalisasi untuk Meningkatkan Kualitas dan Menunjang Pembelajaran di PKBM Cipta Cendikia (2023), digitalisasi berperan penting dalam meningkatkan kualitas pembelajaran serta membuka akses pendidikan bagi masyarakat di berbagai daerah. Namun, sebagaimana dijelaskan dalam Pendidikan Karakter di Era Digital (Tahta Media, 2025), kemajuan teknologi harus diimbangi dengan penanaman nilai moral dan karakter. Jika tidak, teknologi justru dapat memperbesar celah terjadinya pelanggaran etika dan ketidakjujuran. Data dari DataReportal (2025) menunjukkan bahwa pengguna internet di Indonesia telah mencapai 212 juta orang. Angka ini mencerminkan betapa luasnya jangkauan digitalisasi, namun juga menunjukkan perlunya regulasi dan pembinaan karakter yang kuat.

Dalam praktiknya, digitalisasi membawa dampak terhadap perilaku akademik peserta didik. Berdasarkan survei Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK, 2025) yang dikutip oleh Kompas, sebanyak 44,5% mahasiswa mengaku pernah melakukan plagiarisme dalam tugas atau ujian daring. Hal ini disebabkan oleh lemahnya sistem pengawasan, tekanan akademik, serta rendahnya kesadaran moral siswa. Ibarat bangunan megah tanpa pondasi kuat, digitalisasi pendidikan dapat runtuh jika tidak ditopang oleh nilai kejujuran dan integritas yang kokoh.

Hubungan Digitalisasi dan Perilaku Akademik 

Menurut Bennett & Segerberg (2012), perkembangan jaringan digital memungkinkan terbentuknya ruang interaksi tanpa batas. Hal ini dapat memperkuat kolaborasi antar peserta didik, namun juga membuka peluang munculnya perilaku tidak etis jika tidak diiringi dengan nilai karakter yang kuat. Dalam konteks pendidikan, peserta didik dapat saling berbagi informasi dan jawaban ujian. Perilaku ini sering kali tidak disadari sebagai pelanggaran kejujuran akademik karena terjadi secara spontan melalui jaringan digital. Studi oleh Hildawati et al. (2024) menunjukkan bahwa perkembangan teknologi komunikasi memperbesar kemungkinan terjadinya perilaku akademik tidak jujur karena kemudahan akses dan lemahnya pengawasan guru.

Namun, digitalisasi juga memiliki sisi positif yang besar. Jika dikelola dengan benar, teknologi dapat memperluas kolaborasi, mempercepat pertukaran ilmu, dan membentuk budaya belajar yang terbuka. Kuncinya terletak pada penanaman nilai integritas digital, yakni sikap bertanggung jawab dan jujur dalam menggunakan teknologi (Suaji & Prayitno, 2024). Oleh karena itu, keterlibatan aktif guru, sekolah, dan pemerintah dalam membangun sistem pembelajaran digital yang etis sangat penting untuk memastikan bahwa kemajuan teknologi benar-benar membawa manfaat bagi dunia pendidikan, bukan justru merusaknya dari dalam.

Faktor Penyebab Ketidakjujuran dalam Pendidikan di Era Digital

Fenomena ketidakjujuran dalam pembelajaran digital di Indonesia dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Menurut Dewantara (2023), ketidakjujuran akademik dalam pembelajaran daring sering disebabkan oleh penyalahgunaan akses internet, lemahnya keterampilan literasi akademik, serta sistem penilaian yang kurang efektif. Faktor-faktor ini mencerminkan rendahnya kesadaran etika digital dan kemampuan berpikir kritis di kalangan pelajar, yang pada akhirnya mendorong praktik seperti plagiarisme dan kolaborasi tidak jujur. Selain itu, tekanan akademik yang tinggi, sistem evaluasi yang kurang adaptif, serta lemahnya pengawasan menjadi pemicu utama terjadinya kecurangan di lingkungan pendidikan digital (Hildawati et al., 2024). Faktor kelembagaan juga turut berperan penting. Kasus dugaan korupsi dana digitalisasi pendidikan tahun 2025 memperlihatkan bahwa lemahnya transparansi dan sistem pengawasan kebijakan dapat menciptakan ruang penyalahgunaan wewenang yang merusak kepercayaan publik terhadap sistem pendidikan.

Dampak dari Ketidakjujuran dalam Pendidikan di Era Digital

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline