Lihat ke Halaman Asli

Kertaning Tyas

Pendiri Lingkar Sosial Indonesia

Sekolah Inklusi Bukan Sekolah Buangan

Diperbarui: 27 November 2016   22:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gaya Hidup. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Rawpixel

Ada "sekolah buangan" di Kecamatan Lawang Kabupaten Malang. Kabar itu saya dengar sejak 3 tahun lalu ketika saya sedang mencari Sekolah Dasar untuk pindahan anak saya dari Sumatera Selatan ke Jawa Timur. Infonya sekolah itu tempat menampung anak-anak nakal yang dikeluarkan dari sekolah asalnya. Tapi benarkah? Ternyata...

3 tahun penasaran, baru beberapa hari kemarin saya sempat ke sekolah itu. Yang ternyata.. Tak ada sekolah buangan melainkan tertulis di plang sekolah: SDN V Bedali Lawang (SD Inklusi Kabupaten Malang). Tak ada pula anak- anak nakal disitu melainkan anak- anak berkebutuhan khusus: autis, hyper aktif dan kesulitan belajar serta anak- anak dengan disabilitas rungu, grahita dan daksa.

"Anak- anak yang dibilang nakal itu dikeluarkan dari sekolah asalnya dan di sekolah lainnya tidak diterima. Lantas siapakah yang akan mendidik? Mereka pun akhirnya kami tampung karena tugas dan panggilan jiwa sebagai pendidik," ujar Kepala Sekolah SD Inklusi tersebut, Bapak Suhada.

Oh ya, kedatangan saya ke sekolah inklusi itu atas mandat Forum Malang Inklusi (FOMI) untuk pendataan sarana dan prasarana publik termasuk sekolah- sekolah apakah sudah aksesbilitas untuk penyandang disabilitas atau belum. Hasil pendataan nantinya disampaikan kepada Pemerintah sebagai masukan. Target yang akan dicapai adalah perbaikan dan pengadaan sarana dan prasarana yang aksesibel terhadap penyandang disabilitas serta pengadaan Peraturan Daerah (Perda) Disabilitas.

Kembali pada SDN V Bedali Lawang, menurut Bapak Suhada sudah dirintis sebagai sekolah inklusi sejak tahun 2013. "Dengan sarana dan prasarana yang sangat terbatas kami terus berjuang untuk membantu anak- anak berkebutuhan khusus," terangnya.

"Tanpa laboratorium dan ruang terapi yang layak. Tanpa dokter, perawat juga psikiater, yang mestiya ada. Kami juga kekurangan guru," lanjutnya, didampingi dua orang guru yang turut memberikan penjelasan di kantor sekolah.

Penuturan para guru, untuk memenuhi kebutuhan laboratorium dan ruang terapi, menggunakan satu ruang kelas yang dimodifikasi sedemikian rupa serta menggunakan alat terapi seadanya, seperti kaca besar untuk terapi bicara anak tuna wicara.

"Untuk kebutuhan alat peraga beberapa kami beli sendiri seperti kompor, setrika dan lainnya. Untuk mengenalkan pada anak tuna grahita pada bahaya api, listrik serta kegunaan alat- alat rumah tangga guna melatih kemandirian," terang Ibu Irma salah seorang guru.

Sedangkan untuk kebutuhan dokter, perawat dan psikiater sekolah inklusi perintis di Kabupaten Malang ini bekerja sama dengan Puskesmas dan SLB terdekat.

Ya, demikianlah sekolah inklusi dan para siswanya yang dihari ini masih lekat dengan stigma dan diskriminasi. Hak anak- anak berkebutuhan khusus (ABK) pun riskan tercabut hingga akar- akarnya ketika saat ini pendidikan belum aksesibel bagi mereka. Akankah kita diam?

Persoalan disabilitas dalam hal ini bukan lagi hanya urusan para Difabel melainkan persoalan sosial dan kemanusiaan. Dan saatnya, perjuangan pergerakan perubahan bagi kesetaraan hak- hak Difabel bukan hanya diperjuangkan oleh organisasi penyandang disabilitas melainkan kewajiban serta organisasi sosial dan kemanusiaan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline