Lihat ke Halaman Asli

Jasmine

TERVERIFIKASI

Email : Justmine.qa@gmail.com

Sang Musafir

Diperbarui: 17 Juni 2015   09:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Aku, si Musafir, lola tiada beribu-bapa. Sepanjang isra’, kutlah menyintas setapak, menelusur semak. Menjelajah segara, membelah rimba. Menghitung kerakal, mengukur tambalan aspal. Melintasi stepa, tundra, mil demi mil, ladang yang tak berkesudahan. Bersua sabana, menjumpai delta, bergulat dengan urat bakau di pesisir yang tiap tahun mengikis. Dan berakhir sebagai penyampai epik nan heroik, walau terkadang hanya sekedar mengutip kisah para kepik.

Pernah suatu waktu, pengembaraanku diawali pada malam tak bertabur kerlip gemintang, gelap tanpa pemandu jalan kunang-kunang, dan disertai semilir angin kering yang mencekik pertanda musim pembawa paceklik.

“Minumlah segera,” aba sebuah suara, datar tanpa rima.

Apakah telah tiba masa berbuka? Mataku meraba cahaya, mencoba menggapai seteguk yang ditawarkannya itu. Namun dalam gulita yang menyesatkan, mataku ibarat binokuler yang terhalang kabut jelaga. Tak berdaya menangkap sekilas bayangan tersamar pun, sedang tawaran amat menggelitik hati hingga bilik terpelik, mustahil rasanya tuk menampik. Mungkinkah itu anggur dalam cawan cantik?

“Sebotol absinthe dapat menghantarkanmu ke Kerajaan Bawah Tanah,” masih tak berima, suara itu kembali dengan gema yang mengingatkanku tentang tegaknya bulu roma.

Sesungguhnya kutak pernah merapatkan bibirku ke mulut botol itu. Bagai mimpi, getah berwarna cyan dengan bola-bola asap berkilauan tembus pandang, menggeranyang lidah hingga langit-langitnya lalu menggigit dinding-dinding kerongkongan. Kuyakin cairan itu telah menggorok leher, tinggalkan kaldera-kaldera yang darinya darah dan nanah, berebut meluber.

Dalam sekejap, tanpa sempat mengejang apalagi meraung dan meronta, mungkin pula masih di bawah pesona absinthe yang menyihir, kutlah tiba di mulut gerbang Kerajaan Bawah Tanah yang remang, lengang tak berkawal soldadu dan pasukan. Hadirku tak dielu-elu laiknya anjangsana seorang tamu.

“Selamat datang, wahai Musafir,” hanya suara itu saja yang menyapa, tetap datar, bertahan tanpa rima.

Meski gelap tiada akhir dan kabut jelaga belum pun sirna, namun tah bagaimana mataku nyata mampu telanjangi ratusan stalaktit panjang serupa pedang sementara yang lebih pendek seperti belati tersembunyi dalam lipatan kain.

“Dingin…,” aku berkata pelan, sesaat telapak tangan menyentuh ujung runcing yang kejam menyakiti. Ya, sangat pelan, setengah berbisik kurasa. Karena di Kerajaan Bawah Tanah, kauharus berbisik atau naga berwajah Lynx, naga bersayap kelelawar, ular-ular terbang, akan galau terusik dan perjalanan ini mustahil bersambung.

“Dapatkah kaujauhkan tanganmu dari segala peranti di Kerajaan Bawah Tanah ini?” tahu-tahu sesosok naga berjambul elang menegurku dengan gusar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline