Lihat ke Halaman Asli

Iman Kurniawan

Blogger & Jurnalis Warga

Di Sini, Sekolah Swasta Tak Mampu Bersaing

Diperbarui: 25 Juni 2015   21:01

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

13263143692019126418

[caption id="attachment_163176" align="aligncenter" width="640" caption="ilustrasi/admin(shutterstock.com)"][/caption] Setiap ajaran baru, jumlah siswa yang mendaftar ke sekolah-sekolah swasta kian menurun. Hingga akhirnya, sekolah swasta terpaksa mengemas barang-barangnya, hanya meninggalkan gedung kosong yang lama kelamaan hancur dengan sendirinya. Mulai dari atap-atapnya, dinding yang mulai keropos dan akhirnya ambruk, rata dengan tanah. Sementara sekolah negeri, berlomba-lomba setiap tahunnya membangun ruang kelas baru. Maklumlah, hampir setiap tahun jumlah siswa yang mendaftar selalu bertambah. Padahal, aturan yang diterapkan, sekolah negeri harus melakukan perangkingan untuk siswa baru yang mendaftar. Siswa yang masuk harus disesuaikan dengan jumlah ruang kelas. Bahkan untuk 1 lokal telah diatur maksimal menerima siswa paling banyak 36 - 40 siswa. Pada kenyataannya, dalam 1 lokal tetap dipaksakan hingga melebihi kapasitas. Tetapi, sekolah-sekolah negeri ini tetap membandel.  Ini fakta yang terjadi di Kabupaten Rejang Lebong, Provinsi Bengkulu. Kepala Dinas Pendidikan Kabupaten Rejang Lebong, jelas melarang sekolah negeri menerima siswa melebihi kapasitas gedung dan penerimaan harus berdasarkan jejang perangkingan nilai Ujian Nasional (UN). Tujuannya, agar sekolah-sekolah swasta yang ada di Kabupaten Rejang Lebong, bisa kebagian siswa baru. Namun, setiap tahun ajaran baru, sekolah swasta selalu kekurangan siswa baru dan terus merosot. Kondisi ini tentu saja dikeluhkan pengelola atau para kepala sekolah swasta. Apalagi, kemampuan mengelola sekolah biayanya bergantung kepada siswa-siswinya. Makin banyak siswa, makin banyak pula pemasukkan bagi sekolah. Sebagian orang mengatakan, agar banyak mendapatkan siswa, sekolah swasta harus kreatif dan harus mampu menunjukkan prestasi akademik yang tak kalah dengan sekolah negeri.  Lalu kepala sekolah swasta menjawab, bagaimana mau bersaing dengan sekolah negeri? Kalau siswa yang masuk ke sekolah swasta hanyalah sisa-sisa, yang masuk ke dalam kategori bernilai akademi sangat rendah. Masuk ke sekolah swasta hanya karena keterpaksaan saja, dari pada tidak sekolah sama sekali. Sedikitnya jumlah peminat sekolah swasta ini bisa dilihat, seperti yang di alami SMP Muhammdiya 2 Tempel Rejo, Curup Selatan Kabupaten Rejang Lebong, pada saat Ujian Nasional tahun lalu, jumlah siswa kelas IX yang mengikuti Ujian Nasional hanya berjumlah 3 orang siswa saja. Contoh lainnya, adalah SMKS PGRI Curup, Kabupaten Rejang Lebong yang telah berdiri sejak tahun 1983. SMKS PGIR ini merupakan STM Swasta pertama di Kabupaten ini. Pada tahun 1996 - 1999, SMKS PGRI sempat mengalami kejayaan, jumlah siswanya mencapai 500-an orang siswa. Namun, pasca reformasi dan otonomi daerah, SMKS ini lantas mengalami penurunan. Jumlah siswanya lambat laun semakin menurun dan sekarang hanya tersisa 50 siswa saja, dari kelas X sampai kelas XII. Jumlah siswa yang mendaftar di tahun 2011 lalu merosot dibandingkan jumlah pendaftar di tahun 2010 yang mencapai 60 orang. Hal tersebut diungkapkan Kepala SMKS PGRI, Drs Sudirman. "Menurut saya karena sekolah negeri menerima siswa tidak tanggung-tanggung jumlahnya. Sehingga, untuk bersekolah di sini, dibujuk saja siswanya menolak, apalagi kalau hanya menunggu saja," ujar Sudirman. Padahal di SMKS PGRI yang memiliki 2 jurusan, Otomotif dan Las ini, sarana dan prasarananya cukup memadai. Misalnya, sekolah ini memiliki bengkel sebagai sarana praktik siswa. Tetapi, tidak banyak lulusan SMP yang berminat meneruskan sekolah ke SMKS PGRI ini. Padahal, jika dihitung biaya, jauh lebih murah dibandingkan dengan sekolah negeri. Karena itu beberapa kepala sekolah swasta berharap, tidak cukup hanya dengan instruksi Kepala Dinas Pendidikan saja, agar sekolah negeri tidak menerima siswa "gila-gilaan". Tetapi, mereka berharap adanya ultimatum langsung dari seorang bupati, agar sekolah negeri merasa keder dan kepala sekolahnya tak berani menerima siswa lewat pintu belakang, karena khawatir akan dimutasikan, hehehe.... Tidak berbeda dengan SMKS PGRI, beberapa sekolah swasta lainnya, selain jumlah siswa yang kurang, kondisi gedung sangat memprihatinkan. Karena usia bangunan yang sudah tua, seperti misalnya SMKS EFKIP, gedung sekolah sudah berumur tua, sejak tahun 80-an belum tersentuh pembangunan. Beberapa sekolah swasta lainnya, terpaksa gulung tikar.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline