Lihat ke Halaman Asli

ivan adilla

Berbagi pandangan dan kesenangan.

Patahan Mesin Ketik

Diperbarui: 4 Mei 2021   08:43

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sebuah kelompok pemusik jalanan sedang beraksi di Malioboro, Yogyakarta. Foto oleh Ivan Adilla

 "Baiklah. Ayah akan membantu biaya sekolah cucuku ini tiap bulan. Tapi ada syaratnya. Aku yang memilihkan sekolah untuk dia", kata Engku kepada Ibu.

"Terserah Ayah sajalah. Mana sekolah yang baik menurut Ayah", jawab Ibu.  

 Engku---panggilanku untuk Kakek-- memiliki sawah dan ladang cengkih yang luas. Dari hasil pertanian itulah beliau menyekolah anak-anak dan cucunya. Saat panen cengkih, kami cucu-cucunya akan  diundang untuk ikut mememetik bunga cengkih. Selesai panen kami akan mendapat bagian dari cengkih yang telah dipanen. Bunga cengkih itu saya jemur hingga kering dan selanjutnya dijual. Hasil penjualannya dibelikan perlengkapan sekolah; baju, sepatu, dan alat tulis. 

Begitu juga kalau panen padi tiba. Kami ikut mengumpulkan padi yang selesai disabit, menunggui unggukan padi di sawah sebelum diirik dengan kaki untuk melepaskan bulir padi dari tangkainya. Tentu juga makan bersama di sawah. Kami semua akan makan di sebuah munggu yang terletak di tengah hamparan sawah luas dengan padi menguning dan unggukan padi yang menjulang sehabis disabit. Makan bersama seperti ini merupakan kemewahan yang menyenangkan dan selalu ditunggu.

*****

 Senin pagi, aku dan Engku naik bis ke Padangpanjang. Engku membawaku ke Madrasah Tsanawiyah Muhammadiyah di Kauman. Tiga bulan pertama, aku dititipkan pada keluarga kepala sekolah yang juga orang kampung kami. Setelah cukup mandiri, aku dicarikan tempat kos tak jauh dari sana. Maka perjalanan sekolah dan belajar hidup mandiri di rantau pun dimulai.

Kompleks sekolah Muhammadiyah bersebelahan dengan sebuah gereja di samping kanan, dan penjara di bagian belakangnya. Saat berjalan ke sekolah pagi hari, guru asrama sering berbincang dengan pastor atau suster yang bertetangga itu. Meski dikenal sebagai Serambi Mekah dan dengan penganut Nasrani yang tak begitu banyak, setahuku tak pernah terjadi keributan antar pemeluk agama di kota ini. Penjara di belakang asrama puteri Muhammadiyah itu tak pernah diisi oleh orang yang diadili disebabkan masalah agama.

Hingga kelas dua, semua berjalan lancar. Menjelang naik ke kelas tiga, Engku memanggilku. Beliau mengajak aku mengunjungi ladang cengkih miliknya. Ladang luas dengan pohon cengkih besar yang biasanya rimbun, kini hanya tersisa onggokan batang kayu yang meranggas karena wabah mati pucuk. Di sebelah ladang cengkih, sawah luas dengan padi juga merana diserang hama wereng.

"Inilah keadaan Engku sekarang". Suara Engku terdengar pelan. "Tak mungkin Engku membiayai sekolahmu seperti biasa. Kalau mau melanjutkan sekolah, kamu harus berhemat dan mencoba mencari uang sendiri...". Sebagai anak berusia 14 tahun, aku tak punya gambaran apa pun untuk mencari pekerjaan untuk mendapatkan uang sambil sekolah. Akan tetapi kepala sekolah yang mengetahui keadaanku memberikan jalan keluar yang menantang. Tidak saja menjadi jalan keluar dari masalah saat itu, akan tetapi justru menjadi jalan dan pilihan hidup selanjutnya.

Suatu sore, Pak Bachtiar Hassan -- kepala sekolah kami--- memanggil aku untuk datang ke kantor. Beliau mengabarkan bahwa penjaga sekolah yang bertugas sekarang akan tamat bulan depan. Tentu saja dia akan menyambung ke tingkat lebih tinggi. Jadi dia tidak lagi bertugas menjaga, membersihkan, serta tinggal di sekolah.

"Daripada menyewa kamar, lebih baik kamu tinggal di sini menjaga dan membersihkan sekolah. Tiap bulan dapat gaji", kata beliau. Aku langsung mengambil kesempatan untuk menjadi penjaga sekolah.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline