Lihat ke Halaman Asli

Muhammad Itsbatun Najih

Aku Adalah Kamu Yang Lain

Keberagamaan Ideal Era Revolusi Industri 4.0

Diperbarui: 29 Maret 2019   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

sumber: rosda.co.id

Tujuan keberagamaan adalah nalar dan laku kemanusiaannya kian baik. Banyak kalangan menyebutnya saleh ritual-saleh sosial. Aneka ritus ibadah mestinya berimbas keluhuran perangai di lingkungan sosial. Keberagamaan semacam ini merupakan nilai ideal yang dalam Islam disebut insan kamil. Buku ini memotret kesinambungan ikhtiar fase-fase untuk mencapai idealisasi keberagamaan, terutama pada hari ini; era revolusi industri 4.0.

Proses menuju capaian kemuliaan sebagai manusia berakal dan berakhlak, nyatanya tidak berjalan mulus. Saleh ritual memang berlangsung khidmat. Gairah keagamaan kian semarak. Namun, hubungan dengan tetangga berjalan di tempat. Jemaah umrah --sebagai ibadah sunnah-- kian meluap, tetapi anak telantar, anak kurang gizi, dan kefakiran menyeruak. Pada dewasa kini, ketaatan ritus dijalarkan dan disimbolkan pada aspek serba politis, terjadilah politisasi agama.

Sisi sebaliknya, kesalehan sosial memang terpatri dalam-dalam. Namun, justru enggan bersentuhan dengan renik-renik agama. Agama dipinggirkan untuk kemudian dijadikan bilik privasi. Digantikan dengan paham-paham berbasis sekularisasi yang terlampau diagungkan. Sekularisasi dirasa menjadi jawaban atas warna-warni pluralitas masyarakat. Padahal juga, agama mengajarkan relasi atas perbedaan-perbedaan sebagai bagian sunatullah.

Karena itu, penamsilan sosok agung Nabi Muhammad Saw dalam buku ini, berpesan implisit bahwa, agama di ruang publik, tata-kelola pluralitas, serta relasi lintas iman, nyatanya bisa beliau jalankan dengan baik. (hlm: 113). Selain kepribadian Nabi Saw, sebagai sebenar suri teladan; kecakapannya dalam mengelola pemerintahan pun menjadi pendasaran ideal apa arti pemaknaan pluralitas --yang hari-hari ini muncul sebagai problem. Dalam klasifikasi masyarakat Madinah yang beliau pimpin, mirip dengan keragaman suku dan agama di Indonesia. 

Boleh dikata Indonesia bersebut negara agamais/negara religius. Namun, bukan sekali-kali negara sekular atau negara agama. Nomenklatur negara religius inilah yang mesti dirawat demi persatuan. 

Salah besar pula, bila kian hari, terdapat sebagian anak bangsa yang mencoba mendegradasi label agamais-religius dengan polah mensterilkan renik-renik agama dalam ruang publik. Laku sekularisasi ini tentunya bertentangan dengan fakta historis masyarakat Nusantara yang telah sedemikian lama menjunjung sakralitas agama.        

Hedonisme juga menjangkiti laku lampah keberagamaan saat ini. Teramat janggal; karena agama terlampau sarih menyorongkan hidup sederhana/asketisisme (hlm: 88). Beragama tetapi gandrung berfoya-foya menandaskan tercerabutnya akar kemanusiaan. 

Asketisisme merupakan pendulum untuk membedakan mana yang terkarunia oleh akal pikiran; dan mana yang terkungkung penuh oleh nafsu sebagaimana binatang. Kebersahajaan hidup akan secara cermat menghentikan dari menghamba atas tren barang-barang komoditas yang manipulatif.  

Babakan menohok buku ini saat menyerukan untuk menghormati orang yang tidak berpuasa. Justru di situlah semburat kemuliaan yang diandaikan datang dari orang berpuasa. Memantangkan diri teranggap suci-saleh --yang bisa berujung kesombongan beragama. 

Bila sikap sombong tersebut muncul, justru memerosokkan diri dalam kehinaan. Hampir mirip dengan fenomena sekarang perihal diktum "berhijrah". Jangan sampai laku berhijrah yang sedang tren hasilkan spiritualitas berbalut kesombongan dengan anggap dirinya telah suci. Dampaknya, tebaran vonis bidah dan syirik kepada sesama saudara seagamanya kian mudah dijumpa.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline