Lihat ke Halaman Asli

Iskandar Zulkarnain

TERVERIFIKASI

Laki-laki, ayah seorang anak, S1 Tekhnik Sipil.

Masihkah Pendamping Desa Teknik Infrastruktur Dibutuhkan?

Diperbarui: 1 April 2017   06:37

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Infrastrukture yang memprihatinkan di Lebak, Banten. Kontras dengan Kerbaunya yang berlimpah (dok.Pribadi)

Pasca berakhirnya program PNPM dan beralihnya rezim penguasa dari SBY ke Jokowi, maka program yang dulu berorientasi  pengentasan kemiskinan di desa, berubah menjadi program Pengembangan Desa.

Pola pikirnya, jika Negara ingin sejahtera, maka yang urgent untuk dilakukan, mensejahterakan Desa terlebih dahulu. Jika, seluruh Desa sejahtera, maka otomatis Negara dengan sendirinya sejahtera.  Strategi inilah yang disebut dengan Desa mengepung kota. Dapat juga dikatakan, strategi mengepung dari pinggiran.  Sebuah konsep yang indah sangat. Payung hukumnya UU no.6 Tahun 2014.

Namun, tak ada gading yang retak. Tulisan ini, dimaksudkan untuk menutup sisi-sisi lemah dari pelaksanaan UU np 16 tahun 2014.  Bukan dari teori an sich. Tapi, pada sisi aplikasi pelaksanaan di lapangan. Agaknya, jika kita sepakat untuk menutupi lemahnya, diharapkan akan  diperoleh hasil maksimal dari pelaksanaan di lapangan. Sebagai  implementasi dari UU no. 6. 2014 yang secara teori sudah bagus.

Sisi yang akan saya soroti adalah soal keberadaan PDTI.

PDTI atau Pendamping Desa Tekhnik Infra Strukture adalah istilah lain yang sama artinya dengan FT atau Fasilitator Tekhnik pada program PNPM. Mereka bertugas membuat desain perencanaan infra structure, menghitung besaran anggaran biaya, sekaligus memberikan bimbingan selama pengerjaan fisik, lalu membimbing pembuatan administrasi sebagai pertanggung jawaban dari fisik yang dikerjakan.

Berbeda dengan FT pada program PNPM, pada program Kemendes keberadaan PDTI sangat minim. Jumlah mereka sangat sedikit dibanding dengan kebutuhan daerah dampingan. Ironisnya, kekurangan jumlah PDTI terjadi dihampir seluruh wilayah Kecamatan di Negara tercinta Republik Indonesia. Salah satu penyebab minimnya jumlah PDTI, akibat system perekrutan yang dilakukan Kemendes. Soal  perekrutan ini, akan saya tulis pada kesempatan lain.

Sebagai contoh di Provinsi Banten, dari kebutuhan 110 orang kebutuhan PDTI hanya tersedia tenaga sejumlah 17 orang. Itu artinya, hanya tersedia 15,5 % tenaga dari total keseluruhan kebutuhan akan adanya PDTI.

Padahal, jika dilihat kondisi di Desa dengan kondisi infrastructure yang memprihatinkan, maka pembangunan infra structure, merupakan kegiatan vital. Lalu, pertanyaannya bagaimana Desa membangun infrastructure, jika tenaga pembimbing yang mumpuni dalam soal ini, tidak tersedia?

Beberapa akibat.

Memang benar bahwa Desa dibenarkan untuk mencari bantuan tenaga professional dalam perencanaan pembangunan infra structure di Desa, dengan memberikan jasa desain dari infrastructure yang akan dibangun. Apakah dari PU atau mereka yang memiliki lisensi untuk itu.

Tetapi, pada kenyataannya, tenaga akhli yang diminta untuk mendesain pembangunan infrastructure, sulit diperoleh.  Mengapa? Karena, besaran jasa yang mereka terima, sangat minim.  Jika pun diperoleh, maka kondisi idealnya tidak didapat. Setelah Desain dan RAB selesai dibuat. Pekerjaan sang desainer belum selesai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline