Lihat ke Halaman Asli

Ismail Wekke

Warga Kota Sorong, Papua Barat

Korupsi Tidak Mengenal Professor

Diperbarui: 24 Juni 2015   09:04

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Tertangkap tangan oleh KPK, Prof. DR. Rubi Rubiandini, peraih dosen teladan di universitas terkemuka. Beliau menjabat Kepala SKK Migas, dengan kewenangan pengelolaan mnyak dan gas di seluruh tanah air, ini menjadi kesempatan untuk meraup untung dan memperkaya diri sendiri.

Sementara 200.000 dollar Amerika Serikat ditemukan di ruangan Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM). Selain itu, di ruangan Prof. Rudi ditemukan juga 60.000 dollar Singapura, 2000 dollar Amerika, dan emas seberat 180 gram. Adapun kotak penyimpanan uang di Bank Mandiri atas nama Prof. Rudi tersimpan 350.000 ribu dollar Amerika. Belum lagi, saat penangkapan ditemukan 400. 000 dollar Amerika beserta motor besar dengan merek BMW.

Ini masih memerlukan proses hukum lanjutan. Sementara itu Rektor ITB justru terkejur dengan penangkapan ini dan tidak mempercayai kalau Prof. Rudi melakukan korupsi. Jikalau pengadilan memutuskan Prof. Rudi tidak bersalah, maka ITB tetap terbuka untuk menerima kembali beliau untuk berkarya sebagai warga kampus. Tentu pengalaman kerja dan kapasitas keilmuan selama memimpin SKK Migas akan menjadi informasi yang berharga bagi perkuliahan mahasiswa.

Maha Terpelajarpun Terjerumus

Professor juga manusia biasa yang bisa saja terjerumus ke dalam lembah kehinaan. Sebelum ini sudah ada guru besar lain yang terbukti korupsi. Mantan ketua KPU, Nazaruddin Syamsuddin, Mantan Deputi Gubernur Bank Indonesia, Miranda Goeltom, lalu juga mantan Menteri Kelautan dan Perikanan. Semuanya berstatus guru besar.

Ini menjadi bukti, bahwa ilmu setinggi apapun tidak akan mampu mencegah dari perbuatan korupsi. Walaubagaimanapun, keilmuan guru besar itu sebatas satu kajian tertentu. Tidak mendalami jurus menahan nafsu korupsi.

Jika ini dilihat sebagai proses pendidikan, maka ada celah kegagalan dalam sistem pendidikan nasional. Dimana ada celah ketidaksinkronan antara sikap yang diajarkan dalam pendidikan dengan perilaku. Bukan oleh yang tidak lulus. Tetapi ini justru oleh yang maha terpelajar. Puncak dari menara keilmuan. Otoritas dan kewenangan ilmu sudah didapatkan. Sehingga harapannya pada totalitas juga dalam sikap di masyarakat. Tapi semua itu jauh panggang dari api.

Mempertanyakan Agama dan Pendidikan

Ini mungkin juga karena karakter pendidikan tidak seiring dengan kehidupan sosial masyarakat. Sebagaimana juga dengan agama yang tidak hadir dalam kehidupan sehari-hari. Apalagi pendidikan. Jumlah umat Islam terbesar di dunia tetapi pada saat yang sama korupsi juga masih menjadi jamaah. Tidak saja di pemerintahan tetapi sampai menjalar ke perguruan tinggi juga. Saksikan bagaimana korupsi pengadaan laboratorium universitas. Ada juga yang parah, laboratorium madrasah, yang notabene adalah pusat peradaban keagamaan. Parah.

Tapi itu belum seberapa. Korupsi pengadaan al-Quran juga dikrupsi. Padahal ini kitab suci. Waduh, hal yang sangat sakral saja dikorupsi, bagaimana dengan yang lain? Maka, menjadi sebuah tanda tanya besar, bagaimana kehadiran pendidikan dan sekaligus itu juga agama dalam membimbing pola kehidupan?.

Akhirnya, ada yang salah dalam pendidikan kita. Pendidikan yang dilangsungkan tidak memberikan tempat bagi integritas. Proses yang mudah, hasil yang maksimal, serta hedonism menjadi santapan sehari-hari. Maka, wajara saja kalau ukuran di masyarakat bukan pada ilmu dan amal shaleh tetapi pakai, telepon, baju, dan aksesori lainnya yang tidak pada tempatnya.

Padahal, manusia ketika lahir tidak membawa apa-apa. Begitu juga ketika wafat hanya sepotong kain putih yang disebut kain kapan, dililitkan pada sang mayat. Maka, saatnya mulai melihat kehidupan dengan mengedepankan sisi lain. Bukan pada materi.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H



BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline