Lihat ke Halaman Asli

ISJET @iskandarjet

TERVERIFIKASI

Storyteller

Penelitian 2012: Tsunami Selat Sunda Bisa Dicegah dengan Deteksi Cepat Reruntuhan Anak Krakatau

Diperbarui: 26 Desember 2018   14:31

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Aktivitas letupan abu vulkanik dari Gunung Anak Krakatau di Selat Sunda terpantau dari udara yang diambil dari pesawat Cessna 208B Grand Caravan milik maskapai Susi Air, Minggu (23/12/2018). (Kompas/Riza Fathoni)

Seandainya sayap gunung itu runtuh sebesar 0,280 kilometer kubik (km3) mengarah ke barat daya, maka akan memicu gelombang awal setinggi 43 meter.

Sebuah penelitian yang menghasilkan pemodelan numerik terhadap potensi tsunami di Selat Sunda dirilis jurnal Geological Society di London. Selain menghasilkan pemodelan numerik, penelitian bertajuk "Tsunami hazard related to a flank collapse of Anak Krakatau Volcano, Sunda Strait, Indonesia" itu juga memaparkan solusi pencegahan tsunami dengan deteksi cepat dan sistem peringatan dini di pantai. 

Penelitian ini tayang di website researchgate.net pada bulan Maret 2012. Penelitian dilakukan oleh empat orang peneliti, termasuk Budianto Ontowirjo dari BPPT. Tiga orang peneliti lainnya adalah Thomas Giachetti dari University of Oregon, Raphal Paris (Universit Clermont Auvergne) dan Karim Kelfoun (Universit Clermont Auvergne).

Penelitian ini berupaya menghasilkan pemodelan numerik terhadap destabilisasi parsial cepat yang terjadi pada gunung berapi Anak Krakatau. Pemodelan dibutuhkan dalam rangka menyelidiki tsunami yang dipicu oleh destabilitasi tersebut.

Baca juga: 12 Jam Menuju Tsunami Anyer yang Mencekam

Dalam abstraknya, para peneliti menggambarkan karakter Anak Krakatau yang sebagian besar berasal dari hasil letusan kaldera gunung Krakatau pada tahun 1883, menyebabkan struktur gunung tidak stabil. Seandainya sayap gunung itu runtuh sebesar 0,280 kilometer kubik (km3) mengarah ke barat daya, maka akan memicu gelombang awal setinggi 43 meter. 

Ilustrasi gambar di halaman 86.|www.researchgate.net

Gelombang setinggi itu akan mencapai pulau Sertung, Panjang dan Rakata dalam waktu kurang dari 1 menit, dengan amplitudo 15 sampai 30 meter. Ombak ini berpotensi membahayakan banyak kapal wisata kecil yang beroperasi di sekitar Kepulauan Krakatau. 

Gelombang kemudian akan merambat secara radial dari daerah tumbukan dan melintasi Selat Sunda, dengan kecepatan rata-rata 80-110 kilometer. Akibatnya, tsunami akan mencapai kota-kota yang terletak di pantai barat Jawa (mis. Merak, Anyer dan Carita.), sekitar 35-45 menit setelah permulaan keruntuhan, dengan amplitudo maksimum 1,5 meter (Merak dan Panimbang) sampai 3,4 meter (Labuhan). 

Sistem Peringatan Dini

Karena banyak infrastruktur industri dan wisata terletak dekat dengan laut dan pada ketinggian kurang dari 10 meter, gelombang ini membawa risiko yang tidak dapat diabaikan. Karena banyak refleksi di dalam Kepulauan Krakatau, ombak bahkan akan berdampak pada Bandar Lampung yang dihuni sekitar 900 ribu jiwa, setelah lebih dari 1 jam, dengan amplitudo maksimum 0,3 meter.

Gelombang yang dihasilkan memang akan jauh lebih kecil daripada yang terjadi selama letusan Krakatau 1883 (sekitar 15 meter). Hipotesis mematikan dari reruntuhan Anak Krakatau di atas dapat dicegah dengan adanya deteksi cepat keruntuhan oleh observatorium gunung berapi dan sistem peringatan yang efisien di pantai.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline