Lihat ke Halaman Asli

Irwan Rinaldi Sikumbang

TERVERIFIKASI

Freelancer

Undangan Pernikahan dan Gelar Kesarjanaan

Diperbarui: 26 Juli 2019   09:44

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

dok. finansialku.com

"Pak Etek, tolong ditulis nama lengkapnya dan juga gelar S1 dan S2-nya.”

Begitu bunyi sebuah pesan masuk di hape saya. Si pengirim adalah keponakan dari istri saya yang biasa memanggil saya dengan Pak Etek (adiknya ayah dalam bahasa Minang).

Sang keponakan akan melangsungkan pernikahan di Payakumbuh, Sumatera Barat, maka tampaknya ia lagi mendata nama-nama yang akan dicantumkan dalam surat undangan sebagai pihak yang turut mengundang.

Sebetulnya format undangan pernikahan di Sumbar sama saja dengan yang sering saya terima dari teman-teman di Jakarta yang menikahkan anaknya. Tak ada lagi kalimat dalam bahasa Minang seperti yang saya lihat saat saya kecil dulu di tahun 70-an. 

Ketika itu di bagian bawah surat undangan ada tulisan seperti ini: "Silang nan bapangka, karajo nan bapokok". Kalimat itu semacam penghormatan dari keluarga besar kedua pengantin terhadap pihak yang diundang.

Sekarang kalimat dalam undangan jauh lebih sederhana dengan mencontoh trend masa kini termasuk "wajib"-nya membuat logo berupa inisial dari nama kedua pengantin.

Tapi salah satu keunikan surat undangan yang lazim dipakai di Sumbar hingga saat ini adalah yang terdaftar sebagai pihak pengundang tidak hanya kedua penganten beserta kedua orang tua mempelai pria dan mempelai wanita, tapi juga semua saudara dari kedua penganten dan semua saudara dari pasangan orang tua kedua belah pihak.

Jangan heran daftar nama-nama di atas memakan satu halaman sendiri. Biasanya bila undangan tersebut terdiri dari 4 halaman (1 lembar yang dilipat dua, masing-masing dicetak timbal balik), maka daftar pengundang itu berada di halaman 4. 

Oke, kembali ke soal pesan singkat di atas, awalnya saya tak mau memberikan gelar akademis pada nama saya karena menurut saya tidak ada relevansinya dengan undangan pernikahan.

Namun akhirnya saya tak bisa mengelak, ketika orang tuanya yang notabene adalah kakak ipar saya ikut membujuk dengan mengatakan semua nama lain yang tercantum setuju menggunakan gelar. Saya tak enak hati mempersoalkan relevansinya karena kakak ipar ini seorang guru besar di sebuah universitas negeri.

Padahal selama saya berkarir di sebuah perusahaan milik negara yang berbaik hati membiayai kuliah S2 saya, tak ada kelaziman pencantuman gelar. Beberapa teman kerja dan atasan saya malah sudah S3, tetap saja namanya "telanjang" tanpa gelar.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline