Lihat ke Halaman Asli

Marah yang Baik

Diperbarui: 29 Desember 2017   18:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Naha kieu sih? Kamu teh ... matakan tong ulin wae!"

(Kok gini? Makanya kamu jangan main terus!)

Ibu di hadapan saya melesakkan (dengan wajah sebal), raport yang baru saja ia terima ke dalam tas tangannya. Raport itu, tentu saja tidak bisa masuk, sebab ia berukuran F4, lebih panjang ketimbang tas si Ibu. Akhirnya ia jinjing sambil terus mengomeli pemuda tanggung di depannya.

Posisi saya ada di bangku kelas paling depan, sehingga sempat menyaksikan ini. Hari itu, hari pembagian raport. Saya datang untuk mengambil raport si sulung yang sudah duduk di kelas 11.

"Temen kaka juga banyak da yang takut dimarahi orangtuanya," kata kakak, saat saya mengisahkan perlakuan si Ibu tadi. Saat itu memang si sulung tidak duduk bersama dengan saya, hingga ia luput melihat temannya dimarahi ibunya di depan umum.

Setelahnya, saya tercenung, sebab masih teringat jelas pias wajah si pemuda tanggung yang dimarahi itu. Seandainya saya dan orang-orang tidak usah menyaksikan peristiwa itu, tentu ia bisa menyembunyikan rona malu wajanya dengan lebih baik.

Marah, menurut saya adalah hak orangtua. Sebab marahnya orangtua mengandung rasa sayang. Namun mestikah, diungkap di depan umum? Tidak bisakah menunggu sampai rumah? Atau minimal di tempat parkir yang agak sepi? Di dalam mobil?

Sempat terlupa saya menuliskan kisah ini. Hingga sore tadi, saya mendapat pesan tak terduga dari seorang gadis belasan tahun.

Tanpa tedeng aling-aling ia menulis,

"Tante, boleh request tulisan ga (?)"

Potongan-potongan percakapan dengannya saya sertakan dalam tulisan ini.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline