Saya baru tahu kalau 29 Juli adalah hari Harimau Sedunia, yang dibuat untuk mendukung kesadaran bagi konservasi habitat harimau. Saya teringat akan foto cucu saya bersama harimau putih yang saya tuliskan dalam artikel Go Wild for Life, dan sebuah foto lain yang dikirimkan sebagai komentar atas tulisan saya itu.
Setelah tulisan itu saya published, artikel tersebut mendapat reaksi beberapa komentar. Pada umumnya memuji cucu saya berani. Menurut saya, cucu saya itu masih terlalu kecil untuk mengerti bahwa yang dia ajak bermain adalah anak binatang buas. Paling dia mengira bermain dengan kucing besar.
Kebanyakan komentar masuk ke WhatsApp saya karena mereka bukan kompasianer, jadi tidak tembus masuk ke Kompasiana.
Salah satu komentar datang dari Sugar Land, Amerika Serikat, mengatakan, sebetulnya tidak perlu khawatir bila anak kecil bermain dengan harimau, karena harimau bisa dilatih menjadi jinak, malah sampai menjadi vegetarian. Katanya, itu kejadian di Thailand.
Karena saya tidak percaya, maka dia mengirim foto yang membuat saya takjub. Harimau benarankah itu? Katanya sih, foto itu kiriman temannya.
Sebetulnya saya minta sedikit tambahan kisah, selain bahwa harimau itu dilatih menjadi jinak dan vegetarian pula. Namun sampai artikel ini saya ketik tambahan kisahnya belum kunjung datang.
Walau saya surprised melihat foto itu dan kagum akan kepiawaian pelatihnya, saya tetap merasa kasihan pada harimau-harimau itu. Mengapa?
Iya, karena mereka telah diubah total, mereka bukan lagi harimau. Hanya tersisa wajah harimaunya. Iya kan?! Harimau itu kan liar dan pemakan daging. Bagaimana mungkin harimau duduk manis di antara orang-orang yang sedang beribadat?!
Saya jadi sangat penasaran, betulkah ada harimau yang jinak demikian dan vegetarian pula? Maka saya berusaha browsing di google. Hasilnya, saya mendapatkan tambahan kisah hidup harimau-harimau vegetarian itu dan beberapa foto lainnya dari citizen6 dan blog Michael Hans.
Rupanya bukan saya saja yang merasa kasihan, tampaknya para pembela hak satwa sudah melakukan protes kepada pendeta Buddha di Biara Theravada Thailand, yang memelihara dan menjinakkan harimau-harimau itu. Katanya, pendeta itu berkata, “Mengapa harimau ini harus dibiarkan hidup liar di luar sana, memangsa sesama makhluk hidup. Disini kami menyediakan makanan, walau hidupnya lebih pendek beberapa tahun dari harimau yang hidup liar di habitatnya. Bukankah semua makhluk pada akhirnya memang harus mati? Daripada berkeliaran memangsa sesama makhluk hidup, jauh lebih baik, tinggal di sini. Dengan berkelakuan baik, mungkin saja harimau ini setelah kematiannya, bisa bereinkarnasi menjadi makhluk yang lebih tinggi tingkatannya, Malah mungkin bereinkarnasi menjadi manusia, makhluk yang paling sempurna.”
Kira-kira begitulah tambahan kisah yang saya dapatkan.