Lihat ke Halaman Asli

Belajar Mensyukuri Kehidupan lewat Kegiatan Magang yang Tidak Aku Harapkan

Diperbarui: 13 Juni 2019   19:28

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi Pabrik (Sumber: Dunia Ilkom)

Sore itu, hujan deras mengguyur pos satpam tempatku berteduh. Hujan sore itu tak kunjung berhenti. Sejenak, aku merenungkan kegiatanku di pabrik tempatku magang hari itu. Membosankan, masa aku harus bekerja membersihkan file-file nggak penting kayak gitu setiap hari, gerutuku di dalam hati.

Ya, kira-kira itulah yang jadi pekerjaanku setiap harinya di bulan Februari 2017. Saat itu, aku disalurkan magang di salah satu perusahaan terkenal di Kota Solo. 

Aku ditempatkan di Quality Control atau QC pabrik. Pekerjaan ini tentunya tak seperti yang aku bayangkan. Aku berpikir bahwa mungkin aku akan ditempatkan di kantor yang bagus dengan komputer dan segala tetek bengek alat tulisnya. Namun apa daya, aku justru ditempatkan di QC alias Quality Control.

Selama sebulan, aku harus bekerja di pabrik yang bising dan gelap. Tak ada komputer. Pekerjaanku hanyalah membuang file-file hasil tulisan tangan yang tak penting atau menatanya kembali sesuai urutan tahunnya. Pekerjaan yang tak membutuhkan gelar sarjana.

Terkadang, aku dikirim ke pabrik sebelah. Di sana lebih parah lagi. Aku harus membuka file-file tulis tangan lama yang kotor, memasangi label dan kemudian mendaftar kembali berbagai alat lab dan jenis-jenisnya. Pernah suatu ketika aku juga harus mengangkat dos-dos berisi file lama yang tak terpakai. Pekerjaan macam apa ini, pikirku.

Saat makan siang, biasanya aku dan teman-teman QC makan di kantin yang cukup gelap. Jujur, kondisi di kantin itu pun tak seperti yang aku bayangkan. Kantin itu suram meskipun luas. Bahkan dispenser teh pun diletakkan di pojok ruangan seperti tangki-tangki air yang lama tak terpakai.

Bekerja di pabrik untuk pertama kalinya di antara para pekerja yang bertugas membuatku berubah. Aku benar-benar mulai memandang pabrik sebagai tempat yang tak sehat, bising, gelap dan juga menyeramkan.

Pada suatu hari, aku sedang berjalan dari pintu gerbang pabrik. Jarak antara pintu gerbang menuju pabrik tidaklah dekat. Baru saja aku melangkahkan kaki, tiba-tiba seorang ibu menghampiriku. "Mbak, ayo ikut saya aja," katanya sambil memberhentikan motor. 

Nampak tak ada seorang pun yang membonceng di jok motornya yang berwarna hitam. Aku tersenyum lalu ikut membonceng. Tak hanya di pagi hari. Pun ketika pulang dan matahari hampir beranjak, ada beberapa pekerja yang berhenti dan memberikan tawaran serupa kepadaku.

Hari demi hari, aku mulai melihat sisi lain dari kegiatan magangku yang membosankan itu. Selalu ada kebaikan yang tak terduga, keramahan dan keceriaan dari para pekerja serta kerja keras mereka yang aku petik setiap hari. Ketika aku sibuk mengeluh, mereka tersenyum, menyetel musik dangdut dan bekerja dengan tekun. Mereka bahkan sering menawariku makanan ketika aku sedang bekerja. 

Terkadang, mereka bercerita tentang kehidupan mereka masing-masing. Ada yang menikah di usia yang begitu muda. Ada pula yang lebih muda dari padaku, tapi ia harus berjuang dan bekerja demi anak-anaknya di desa. Ada juga sosok ibu paruh baya yang sudah bertahun-tahun bekerja namun ia tetap ramah kepada siapa saja dan tetap berjuang.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline