Lihat ke Halaman Asli

Inspirasiana

TERVERIFIKASI

Kompasianer Peduli Edukasi.

Cukupkah Percaya Saja? Ini 3 Hal yang Diperlukan untuk Menghadirkan Jurnalis Berkelas

Diperbarui: 9 Desember 2020   12:19

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Photo by Kamaji Ogino from Pexels

"Mulai dari berbagi"

Seorang rekan jurnalis menceritakan kisah pengalamannya ketika melakukan liputan langsung ke lapangan. Rekan saya ini, sebut saja namanya Joris, biasanya menuliskan artikel tentang hasil liputan dari suatu temuan di lapangan, berupa kejadian, atau hanya sekadar kegiatan ringan.

Menurut hematnya, lebih baik melakukan liputan langsung dari pada hanya menerima rilis berita kiriman dari suatu instansi, baik pemerintah atau swasta, yang melakukan suatu kegiatan. Ada risiko bila menayangkan suatu berita yang sumbernya hanya sebatas rilis dari instansi, dengan mengutip secara langsung seluruh isinya tanpa melakukan sedikitpun perubahan. Konon lagi melakukan pengujian langsung ke lapangan dan mewawancarai narasumber.

Beberapa risiko yang bisa muncul atas tindakan kurang tepat itu di antaranya, munculnya kesalahan dalam tubuh berita. Mengenai hal ini bisa saja karena taksengaja dari sumber rilis berita, atau bahkan akibat keusilan.

Instansi sumber berita terkadang memang mengharapkan rilisnya tidak diubah karena dipandang memuat informasi penting yang harus disusun padat agar termuat dalam ruang media yang terbatas. Namun, tak jarang juga instansi sumber rilis berita mengharapkan adanya kreasi dan improvisasi untuk membuat rilis beritanya menjadi lebih kaya dan menarik dibaca.

Nah, untuk instansi dengan tipe yang kedua ini, terkadang merasa kesal karena rilis beritanya dimuat persis sampai kepada "titik", "koma", dan seluruh kalimatnya. Pernah seorang kawan saya yang lain, sebut saja namanya Bunga, bercerita kalau dia dibuat malu, karena sebuah instansi memberi rilis berita dengan tahun yang sengaja dibuat salah.

Wah, bagaimana coba? Kalau media yang sudah punya izin, menerbitkan sebuah berita resmi kegiatan suatu instansi yang dilaksanakan pada tahun 2020, tapi di pemberitaan tertulis tahun 2030. Parahnya, kesalahan atau keusilan yang disengaja itu muncul tidak hanya sekali di pemberitaan.

Barangkali contoh di atas adalah salah satu hal yang dimaksud oleh Romo Bobby, sang jawara kusala terbaik dalam penulisan opini dan pilihan warga pada perhelatan Kompasianival 2020 itu. Dia memberikan nama untuk jurnalis seperti itu sebagai lazy journalist. Ulasan selengkapnya tentang lazy journalist itu dapat dibaca di sini.

Jadi, penting bagi jurnalis untuk melakukan verifikasi semua sumber berita. Tidak semua hal mesti ditelan mentah-mentah. Oleh sebab mencari daging berita yang matang pada zaman kiwari tampaknya semakin sulit, maka warga pembaca kemungkinan akan ikut menelan sebuah berita yang mentah, atau bahkan basi, dari berbagai sumber pemberitaan.

Kasihan kan? Saat ini berita yang mentah, yang matang, bahkan yang basi sudah semakin berbaur di ruang sempit yang sama. Berbagi ruang terasa semakin sesak, sebab manusia semakin bertambah, dan kejadian serta peristiwa pun semakin banyak.

Apa yang menarik dalam hal ini adalah, bahwa berita yang tersaji seringkali adalah hasil keroyokan atas sebuah isu yang memang sudah terpampang telanjang, tapi tak jarang menyesatkan. Orang-orang tentu rindu juga mengetahui kisah-kisah nyata seputar kehidupannya sendiri.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline