Lihat ke Halaman Asli

Y. B. Inocenty Loe

Instruktur Pembelajaran Kreatif, Penulis, Kandidat Magister Teknologi Pendidikan Universitas Sebelas Maret

Miskin karena Adat (Praktik Belis di NTT)

Diperbarui: 28 Februari 2024   13:09

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

mediaindonesia.com

Oleh: Y. B. Inocenty Loe

Saya sering mendengar pernyataan "miskin karena adat". Pernyataan ini setidaknya mengumbar anggapan bahwa adat berwajah ganda. Di satu pihak, orang mengenal bahwa adat memiliki kekuatan solidaritas antarmanusia. Ia mampu merekatkan tali persaudaraan, menciptakan keharmonisan, dan mengarahkan para anggota untuk saling membantu. Walaupun demikian, di pihak lain, adat seolah-olah menjadi perangkap yang siap menghancurkan seseorang kapan saja. Ia menjadi beban karena banyak tuntutan yang harus dipenuhi. Ia bisa saja menjadi momok jika di dalam keterbatasan, orang diarahkan untuk memenuhi tuntutannya. Dalam tulisan ini, saya akan berbicara tentang miskin karena adat dalam kaitan dengan budaya belis. Mungkinkah praktek belis dengan berbagai tuntutannya membuka celah bagi kemiskinan di Timor?

Miskin Karena Adat?

Dalam konteks "miskin karena adat", kata miskin dapat dimengerti dalam dua hal. Pertama; miskin secara material, yaitu mereka yang oleh tuntutan adat (belis) yang terlalu berat akhirnya masuk dalam lingkaran kemiskinan. Pada awalnya mereka adalah orang-orang yang hidup dalam kecukupan. Namun, karena harus memenuhi tuntutan belis yang amat berat akhirnya terjerembab dalam kemiskinan dan mengalami kesulitan finansial sehingga harus meminjam uang dari berbagai pihak untuk kepentingan makan minum, biaya sekolah anak, atau untuk kepentingan adat dan sebagainya.

Kedua; miskin secara moral. Tuntutan adat seringkali mengabaikan nilai-nilai moral tertentu dan memunculkan konflik. Tuntutan belis yang terlampau tinggi menimbulkan beban bagi seseorang. Akhirnya, orang memenuhi tuntutan belis bukan dengan kesadaran sukarela tetapi karena takut dihina, dipandang rendah atau dikucilkan oleh sukunya atau suku lain. Atau, ada yang memberontak melawan otoritas adat jika tuntutan terlampau berat. Walaupun orang tahu bahwa melawan otoritas adat dapat menimbulkan disharmonisasi diri, disharmonisasi kosmos, disharmonisasi sosial masyarakat dan disharmonisasi dalam relasi manusia dengan Allah. Disharmonisasi berarti keretakan relasi, keterpecahan karakter, kekacauan peran dalam tata pembagian tugas dalam suku.

Dua konsep kemiskinan dalam kaitan dengan pembahasan miskin karena adat ini, dapat menjadi indikasi yang memperparah kemiskinan di Timor. Tentu disadari bahwa kemiskinan lahir dari rahim yang kompleks dan dipengaruhi oleh banyak faktor baik karakter, cara hidup, sistem dan sebagainya. Kemiskinan yang diakibatkan oleh tuntutan adat yang terlalu berat tentu hanya merupakan salah satu faktor dari sekian banyak faktor yang mempengaruhi kemiskinan. Bisa jadi, praktek belis memperparah dan memperburuk tingkat kemiskinan di Timor. Sebagai sebuah refleksi, tentu miskin karena adat harus mendapat perhatian dan usaha serius dari berbagai pihak.

Belis dan Tantangan Zaman

Pada dasarnya, belis merupakan praktek yang luhur. Bagi orang Timor belis merupakan harga diri perempuan (walaupun harga diri tak diukur lewat materi) dan balas jasa terhadap air susu ibu. Simbol-simbol ini membantu orang untuk menyadari bahwa manusia memiliki harga yang luhur. Dalam artian bahwa ia harus diperlakukan dengan penuh harga dan hormat dan bukannya sebagai hamba. Walaupun demikian, orang tidak jarang menyamakan belis dengan harga untuk membeli perempuan. Belis menjadi ukuran untuk menetapkan harga diri perempuan. Akibatnya, perempuan diperlakukan sebagai barang dan bukannya sebagai manusia bermartabat. Jauh sebelum orang Timor dididik untuk memandang perempuan sebagai makhluk bermartabat, ada kecenderungan belis dipakai sebagai legitimasi perlakuan kasar terhadap perempuan.

Dalam pemahaman ini, ditemukan bahwa praktek belis dapat memiskinkan manusia secara moral, karena menganggap dan memperlakukan yang lain secara tidak manusiawi. Perempuan menjadi budak untuk kepentingan suami (laki-laki). Perempuan diperlakukan bukan sebagai makhluk bermartabat tetapi sebagai pelayan bagi laki-laki. Perempuan tidak dipandang sebagai subjek sederajat dengan laki-laki tetapi sebagai objek pemenuh kebutuhan dan keinginan laki-laki. Praktek seperti ini tentu diskriminatif terhadap perempuan. Praktek belis harusnya menghantar orang kepada solidaritas antara perempuan dan laki-laki.

Dalam praktek, belis menjadi biang keladi konflik antarkeluarga atau antarsuku. Dalam pertemuan pembahasan belis tidak jarang terjadi ketegangan antara keluarga perempuan dan keluarga laki-laki. Ketegangan ini bisa berakhir dengan kesepakatan tetapi juga bisa melahirkan konflik diantara kedua belah pihak. Konflik terjadi karena pihak perempuan memberi patokan belis yang terlalu tinggi. Tahap penting sebelum laki-laki melamar perempuan adalah kesepakatan intern keluarga laki-laki soal dukungan material (barang atau uang). Biasanya, dalam kesepakatan ini dibahas soal berapa besar sumbangan tiap anggota suku atau keluarga besar. Persiapan ini dimaksudkan untuk mengatasi segala tuntutan adat dari pihak perempuan yang tentunya akan mengeluarkan biaya dan materi yang besar. Penentuan sumbangan material ini memiliki intensi positif yakni sebagai dukungan terhadap mempelai laki-laki tetapi berdampak negatif jika ada anggota keluarga yang pada saat yang sama mengalami krisis finansial atau krisis material. Bagi anggota keluarga tersebut tentu ini sangat berat dan bisa saja demi menjaga nama baik dan harmonisasi, ia rela mengutang. Utang bisa menjadi salah satu faktor seseorang terjerembab dalam kemiskinan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline