Lihat ke Halaman Asli

Syaiful W. HARAHAP

TERVERIFIKASI

Peminat masalah sosial kemasyarakatan dan pemerhati berita HIV/AIDS

Menanggulangi Pekat dengan Paradigma Terbalik

Diperbarui: 5 April 2023   05:18

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi (Sumber: kabarbanten.pikiran-rakyat.com) 

Setiap menjelang puasa mulai terjadi friksi horizontal terkait dengan ’pekat’ (penyakit masyarakat) yaitu ’miras’ (minuman beralkohol), judi, dan pelacuran. Organisasi masyarakat (ormas) berbasis agama pun menempatkan diri sebagai ’penjaga gawang’ moral dengan melakukan aksi unjuk rasa sampai ’penindakan’ yang terkadang berujung pada perbuatan melawan hukum dan pelanggaran berat terhadap hak asasi manusia (HAM).

Di beberapa daerah ’miras’ dihancurkan dengan buldoser. Tanpa disadari minuman yang mengandung alkohol tsb. mencemari air tanah. 

Lagi pula, apakah dengan menggilas botol-botol ’miras’ otomatis di daerah itu ’miras’ tidak akan ada lagi?

Kalau jawabannya TIDAK, untuk apa menggilas botol-botol miras tsb. yang justru mencari air tanah.

Ketika peraturan daerah (Perda) anti ’miras’ diundangkan di Manokwari, Papua Barat, penulis sedang melatih wartawan di sana untuk penulisan berita AIDS yang komprehensif. Wartawan mengatakan perda itu bisa menghentikan perdagangan ’miras’. Tapi, fakta yang mereka peroleh dari studi lapangan menunjukkan ada pihak yang memanfaatkan perda itu dengan menjual bir Rp 70.000/botol. Nah, ’miras’ menjadi barang ilegal yang menguntungkan sindikat.

Lalu, apa yang bisa dilakukan? Ini pertanyaan wartawan. Kita bisa menoleh ke beberapa negara yang bisa mengendalikan perdagangan ’miras’. Yang dilakukan adalah mengelompokkan izin perdagangan atau penjualan ’miras’ berdasarkan kadar alkohol. Izin ini diberlakukan secara ketat dengan sanksi hukum yang berat.

’Miras’ dengan kadar alkohol di bawah 4 persen, seperti bir, bisa dijual di pedagang K-5 karena ’miras’ ini tidak akan membuat orang sampai mabuk berat. Tapi, di atas itu harus di tempat-tempat yang khusus, misalnya, pub, restoran, dll. 

Pembeli pun harus menunjukkan kartu identitas. Jika umurnya di bawah 21 tahun tidak boleh membeli ’miras’. Celakanya, di Indonesia orang-orang tua malah menyuruh anak-anaknya membeli rokok. 

Jika kita lihat di luar negeri kalau ada razia kendaraan bermotor yang dicari adalah apakah yang mengemudi meminum ’miras’. Nah, di Indonesia yang ditanya surat-surat kendaraan dan SIM. Lho, biar pun surat lengkap kalau mabuk tentu ada risiko kecelakan. Tidak ada tidak ada kaitan langsung antara surat-surat kendaraan dan SIM dengan kecelakaan.

Sanksi hukum diberikan kepada orang-orang yang mabuk di tempat umum. Ini akan mengurangi orang mabuk ’berkeliaran’ di ranah publik. Hukuman tidak perlu dipenjara, tapi bisa dengan hukuman sosial, seperti menyapu jalan, memberishkan WC umum, dll. Mereka memakai baju khusus bertuliskan kesalahannya, tapi mereka mendapat imbalan sebagai jerih payah kerja sosial mereka.

Terkait dengan pelacuran upaya memberantasnya tidak akan pernah berhasil karena (praktek) pelacuran bisa terjadi secara tertutup. Ormas, Satpol PP dan polisi hanya bisa merazia pelacuran yang kasat mata, seperti di jalanan, penginapan, losmen dan hotel melati. Apakah di apartemen dan hotel berbintang tidak ada praktek pelacuran?

Selama ada permintaan dari laki-laki terhadap pelananan seks, maka selama itu pula (praktek) pelacuran terus berkembang dengan berbagai cara.  Praktek pelacuran yang tidak kasat mata melibatkan pekerja seks komersial (PSK) yang disebut sebagai PSK tidak langsung. ’Pesanan’ dilakukan dengan berbagai cara: tukang becak, tukang ojek, sopir taksi, karyawan hotel, dan telepon.

Mewajibkan tamu hotel menunjukkan surat nikah jika membawa perempuan pun tidak ada manfaatnya karena bisa saja pasangan itu memesan kamar yang berbeda. Di Pontianak, Kalbar, ada satu hotel yang mewajibkan tamu menunjukkan surat nikah. Hotel ini selalu penuh, tapi tamunya justru mengindap di hotel lain. Ya, kalau istrinya telepon ke hotel itu memang benar suaminya check-in di hotel tsb.

Yang jadi persoalan adalah pemerintah, terutama pemerintah daerah, lebih memilih ‘bebas pelacuran’ yang semu yaitu dengan menutup lokasi atau lokalisasi pelacuran. Bahkan, ada yang membuat perda khusus anti pelacuran, seperti di Kota Tangerang (Banten) dan Kab Bantul (DI Yogyakarta). Tapi, apakah Pemkot Tangerang dan Pemkab Bantul bisa menjamin di daerah mereka tidak ada (praktek) pelacuran?

Agaknya, kita perlu membalik cara berpikir dalam menanggulangi ‘pekat’ ini. Pendekatan dilakukan dengan cara-cara yang konkret tanpa kekerasan.

Mengapa umat tidak bisa diajak untuk menjauhi ‘pekat’?

Ajakan yang dilakukan oleh berbagai kalangan selama ini bertumpu pada sudut pandang (melihat dari satu sisi), yaitu norma, moral dan agama. Pelaku ditakut-takuti dengan sanksi berupa neraka sebagai hukuman.

Tidak ada ajakan yang memakai perspektif (menggambarkan fakta yang dikaitkan dengan relasi secara langsung di ranah realitas sosial) untuk menjauhi ’pekat’. Misalnya, memberikan informasi yang akurat tentang risiko ‘miras’ dan melacur yang disertai dengan contoh yang realistis.

Seperti risiko penularan IMS (infeksi menular seksual, seperti sifilis, GO, virus hepatitis B, klamidia, dll.) serta HIV melalui hubungan seksual selalu tidak disampaikan secara konkret. Maka, banyak yang tidak melihat risiko tsb. karena informasinya dibalut dengan norma, moral dan agama.

Sudah saatnya ajakan untuk menjauhi ’pekat’ dilakukan melalui perspektif dengan materi yang bertumpu pada fakta dan realitas sosial. ***[Syaiful W. Harahap]***




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline