Lihat ke Halaman Asli

Indrato Sumantoro

Pemerhati Aspal Buton.

45 Tahun Mengimpor Aspal: Sampai Kapan Presiden Menutup Mata ?

Diperbarui: 1 September 2025   09:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Presiden Prabowo Subianto. Sumber: en.wikipedia.org

Indonesia adalah negeri dengan potensi aspal alam terbesar di dunia, namun ironisnya kita masih bergantung pada aspal impor. Lebih dari 45 tahun, negara ini seolah tidak mampu memutus rantai ketergantungan tersebut. Triliunan rupiah mengalir deras keluar negeri setiap tahun hanya untuk membeli aspal minyak yang sebenarnya bisa diganti oleh aspal Buton. Pertanyaannya, sampai kapan Presiden akan menutup mata terhadap kenyataan ini?

Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, menyimpan cadangan aspal alam lebih dari 650 juta ton. Jumlah ini cukup untuk memenuhi kebutuhan aspal nasional selama ratusan tahun. Namun, dari masa ke masa, pemerintah lebih memilih jalan pintas: impor aspal. Jalan pintas yang justru menjadi jebakan mematikan bagi kemandirian bangsa.

Impor aspal telah melahirkan jaringan bisnis yang sulit ditembus, bahkan mirip "kartel" terselubung. Segelintir pihak menikmati keuntungan besar, sementara rakyat Buton hanya menjadi penonton di tanah kelahirannya sendiri. Ketidakadilan ini terus berulang dari satu rezim ke rezim berikutnya. Tidak ada yang benar-benar berani memutus rantai ini, termasuk di era sekarang.

Yang lebih menyakitkan, setiap kali harga minyak dunia naik, harga aspal impor ikut melambung. Akibatnya, biaya pembangunan jalan membengkak dan proyek infrastruktur rakyat menjadi korban. Padahal, kita punya sumber daya yang harganya lebih stabil dan tersedia di tanah sendiri. Mengapa kita rela membiarkan rakyat membayar mahal hanya demi melanggengkan impor aspal?

Selama 45 tahun, belum ada kebijakan strategis yang mampu mengubah keadaan. Rencana hilirisasi aspal Buton hanya berputar di meja rapat dan menjadi bahan pidato indah. Rakyat tidak butuh janji, rakyat butuh realisasi nyata. Dan waktu kita hampir habis.

Aspal Buton bukan sekadar batu hitam, ia adalah simbol kedaulatan ekonomi nasional. Mengabaikannya sama saja menggadaikan masa depan kemandirian bangsa. Jika kita terus diam, kita sedang menyerahkan leher kita untuk dicekik pasar global. Apakah ini pilihan yang akan terus dipertahankan Presiden?

Banyak negara iri dengan cadangan aspal kita, tetapi kita malah membiarkannya tidur panjang. Di forum internasional, potensi ini sering disebut sebagai "sleeping giant" yang tak pernah dibangunkan. Pertanyaannya, sampai kapan Presiden membiarkan terus raksasa ini terikat?

Industri lokal yang mencoba memanfaatkan aspal Buton sering kali terbentur regulasi yang rumit. Sebaliknya, izin impor aspal diberikan dengan mudah dan cepat. Kebijakan timpang ini jelas bukan hanya keliru, tapi juga mencederai kepentingan nasional.

Kebutuhan aspal nasional mencapai 1,5--2 juta ton per tahun, dan sebagian besar masih impor. Kita bukan hanya memberikan devisa kepada negara produsen, tetapi juga membunuh peluang kerja bagi anak bangsa. Jika kondisi ini terus dibiarkan, kata "mandiri" hanya akan menjadi slogan kosong.

Jika dihitung, selama 45 tahun nilai impor aspal sudah mencapai ratusan triliun rupiah. Uang sebesar ini seharusnya cukup untuk membangun pabrik ekstraksi modern, membuka ribuan lapangan kerja baru, dan menghidupkan ekonomi daerah. Tetapi kenyataannya, yang kaya justru pihak luar, sementara rakyat hanya jadi penonton.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline