Lihat ke Halaman Asli

Indra J Piliang

TERVERIFIKASI

Gerilyawan Bersenjatakan Pena

Evaluasi dan Orientasi Gerakan Mahasiswa

Diperbarui: 30 Juni 2021   07:27

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Massa yang terdiri dari pelajar dan mahasiswa kembali turun ke jalan melakukan aksi tolak UU KPK dan sejumlah RUU yang dinilai kontroversial di kawasan simpang susun Semanggi, Senayan, Jakarta Pusat, Senin (30/9/2019).(KOMPAS.com/M ZAENUDDIN)

Tanggal 13 November 2000 yang lalu, tepat 2 (dua) tahun Tragedi Semanggi. Ribuan mahasiswa masih memadati kampus Atmajaya, dan halaman gedung parlemen di Senayan. Di tengah peringatan itu, dan ditengah konflik elite politik sekarang ini dan beragamnya persoalan bangsa yang harus diselesaikan, benarkah mahasiswa seakan kehilangan arah perjuangannya? 

Seorang pengamat politik terkenal yang sekarang sedang belajar di USA dalam emailnya kepada penulis menyebutnya sebagai disorientasi gerakan mahasiswa. 

Pelan-pelan gerakan mahasiswa menjadi sangat marginal, padahal begitu banyak persoalan-persoalan bangsa yang notabene membutuhkan perhatian mahasiswa. 

Apakah benar fungsi mahasiswa hanya sekedar penghela sejarah atau pembuka kotak Pandora dari rezim otoritarian, lalu setelah itu membiarkan kelompok masyarakat lain memainkan peranannya?

Memang tidak seluruh komponen mahasiswa diam, setidaknya masih terdapat yang bergerak. Menurut pengamatan penulis, setidaknya terdapat tiga komponen mahasiswa yang masih melakukan gerakan:

Pertama, komponen mahasiswa yang konsisten dengan tuntutan-tuntutan reformasi, seperti pengadilan Soeharto, penghapusan dwi-fungsi ABRI, dan penghapusan korupsi-kolusi-nepotisme.

Kebanyakan komponen yang mewakilinya berasal dari mahasiswa-mahasiswa radikal, seperti Forkot, Jarkot, dan sejenisnya. Sayangnya komponen mahasiswa ini sudah mengalami perpecahan internal, baik karena pergantian kepemimpinan, atau aktivis-aktivisnya sudah menamatkan bangku kuliah. 

Pasca Soeharto, mereka tergabung dalam kelompok Reformasi Total yang menyerukan pembentukan Komite Rakyat Indonesia. Kelompok ini juga menolak Pemilu karena merasa bahwa UU Pemilu dihasilkan oleh anggota legislatif yang tidak konstitusional. 

Pengertian mereka tentang Orde Baru adalah bagian dari kudeta militer yang melanggar konstitusi. Apapun kebijakan Orde Baru harus ditolak, karena proses awalnya sudah tidak konstitusional. 

Dari pembicaraan dengan sejumlah aktivisnya, penulis mendapat kesan bahwa mereka sedang menyiapkan revolusi generasi (Lebih jauh baca tulisan penulis dalam Kompas, 14 September 2000 tentang "Elite Politik dan Revolusi Generasi").

Kedua, komponen mahasiswa yang konsisten dengan tuntutan-tuntutan reformasi, tetapi jarang bergerak di lapangan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline