Lihat ke Halaman Asli

Indra Agusta

hologram-Nya Tuhan

Desa-kota, dan Kita Tak Pernah Sama

Diperbarui: 20 September 2022   06:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Dok. I. Agusta 2022

Dua hari yang cukup menyenangkan di Yogyakarta. Ada temu wicara sastra, sebagai salah satu bagian dari Festival Kebudayaan Yogyakarta 2022. 

Bertempat di danau UGM, beberapa penulis yang namanya sudah malang-melintang di dunia sastra menjadi pembicara. Sunlie Thomas Alexander, Katrin Bandell, Mahfud Ikhwan dan Ramayda Akmal. Saya sengaja datang karena topik perbincangan menarik. Melintasi batas kawasan dan Di persimpangan rural dan urban.

Dalam dua sore, perbincangan tentang eksplorasi sastra itu menarik. Bagaimana sebuah karya sastra diramu dan menembus batas-batas wilayah geografi, administrasi serta etnis. 

Eksperimentasi kepenulisan dengan menukil sajian etnis dan peristiwa sebuah wilayah membawa keperajinan sastra nampak dinamis. Karya sastra  tak hanya dipandang sebagai sajian rekam sosial, tetapi juga merupakan riset ketat dengan beragam komparasi data.  Keperajinan ini praktis menambah jam kerja penulis dengan membaca banyak literatur supaya tidak meleset akurasi datanya. Riset tak berhenti pada buku-buku data, tetapi juga membaca keadaan lewat datang langsung ke wilayah yang  sedang ingin dibuat tema kepenulisan. Metode in-situ. Hal yang sudah lama dilakukan penulis seperti Koo Ping Hoo atau SH. Mintardja.

Lebih lanjut tak hanya wilayah geografis, terkadang sebagai penulis juga harus mempelajari latar waktu. Menjangkau kembali alam dalam batas zaman ketika fiksi itu ingin ditulis. Kajian pos-kolonial misalnya, jadi bacaan untuk membaca gerak jaman serta efek-efek yang terjadi setelah kolonialisme pergi dari Nusantara. 

Rekam latar jaman ini akan memberikan sentuhan nuansa dari lakon yang ingin dituliskan. 

Dok. Sigit Pratama, 2022

Sore kedua saya kembali ke wicara sastra. Perbincangan tentang desa-kota mengunci pandangan saya terhadap pembicara. 

Dialektika sastra yang kerap menukil kejadian di desa, dan meromantisasinya ketika kita sedang bermigrasi ke kota lain kerap terjadi. "Jarak" ini kadang diperlukan untuk memunculkan dinamika, meskipun itu hanyalah usaha pendekatan subjektif dari ingatan penulis terhadap desa dan idealisasinya tentang desa. 

Dunia urban adalah dunia yang lain, mereka yang pernah bersentuhan dengannya seperti tiada pernah kembali lagi ke desa. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline