Kehidupan saya sebagai manusia yang mandiri dimulai ketika saya langkahkan kaki keluar rumah masa kecil, membawa tas besar, pergi merantau ke Makassar, Sulawesi Selatan di tahun 1999 (waktu itu namanya masih Ujung Pandang) untuk bekerja. Setelah tinggal selama satu minggu di rumah saudaranya teman di Panaikang, saya pindah ke sebuah rumah kos di area Bumi Tamalanrea Permai (BTP). Tinggal di rumah kos itu hanya sebulan, karena lalu saya diajak oleh teman untuk tinggal sama-sama di sebuah rumah kontrakan di daerah Maros.
Tinggal di Maros hanya sekitar enam bulan, lalu saya tinggal di rumah kontrakan lain yang dekat sekali dengan kantor. Hanya sekitar 50-100 meter jaraknya. Di rumah kontrakan ini (di dalam area Perum Bulurokeng Permai), saya tinggal berdua lalu bertiga dengan sesama teman kantor perempuan selama kurang lebih dua tahun. Setelah itu kami pindah ke mess kantor sampai masing-masing menjemput jodoh.
Saat tinggal di Perum Bulurokeng Permai, kami diberi informasi oleh tetangga bahwa ada kegiatan ronda di perumahan. Pos rondanya juga tidak terlalu jauh dari rumah kami. Sistemnya adalah: bapak-bapak yang ronda, dan secara bergiliran ibu-ibu memberikan kopi dan camilan.
Kami yang satu rumah tiga orang perempuan semua, tentu ikut berpartisipasi ala ibu-ibu memberikan suguhan untuk para peronda. Pernah kami beli sendiri, pernah juga menitip pada tetangga untuk menguruskan hal tersebut. Seingat saya, hal ini berlanjut sampai kami tinggal di mess kantor. Kami berpartisipasi dalam bentuk konsumsi untuk para peronda.
Tahun 2003 saya menikah dan tinggal di Perum Bumi Permata Sudiang. Sistem ronda dan Siskamling seingat saya masih dijalankan. Suami juga sesekali ikut ronda. Pada tahun 2010-2016an, kami sekeluarga pindah ke Jogjakarta. Kami tinggal di Dusun Dayu, Sleman. Sistem ronda dan Siskamling masih dijalankan, bahkan suasananya lebih guyub karena kami tinggal di sebuah gang yang hanya dihuni beberapa rumah saja. Poskamlingnya ada di dekat rumah dan anak-anak juga suka bermain di Poskamling. Suami juga sesekali ikut ronda.
Saat kami kembali menetap di Makassar sekitar 2017an, kami seolah-olah menjadi warga baru lagi. Saya tidak terlalu aware dengan sistem ronda ini, sepertinya sudah nggak ada dan ada petugas RT yang rutin menagih uang keamanan dari rumah ke rumah. Sampai saat ini, kami rutin membayar uang keamanan sebesar Rp30.000 perbulan.
Jika ronda dan Siskamling diaktifkan kembali di RT saya, saya rasa tidak menjadi masalah. Diatur saja dengan baik jadwal rondanya. Misalnya untuk bapak-bapak yang bekerja kantoran, diberi jadwal ronda pas malam week end, sementara bapak-bapak pensiunan yang sudah tidak terikat harus berangkat ke kantor pagi-pagi, diberi giliran malam weekday. Selain itu ada giliran jadwal untuk sumbangan kopi/teh dan camilannya tiap rumah tangga.
Untuk uang keamanan sebaiknya dirembugkan saja apakah tetap harus dibayar atau tidak. Demikian pula tenaga keamanan yang biasanya dibayar untuk melakukan tugas ronda, apakah dipertahankan atau tidak. Bisa juga warga hanya di hari-hari tertentu saja ronda, sedangkan hari-hari lainnya tetap menjadi tanggung jawab petugas keamanan yang sudah dibayar.
Dari sisi sarana prasarana terkait pos ronda, untuk RT saya juga tidak menjadi masalah. Telah ada semacam gazebo dan tempat pertemuan setengah terbuka yang dibangun di pinggir lapangan bulu tangkis di perumahan tempat kami tinggal. Tim ronda bisa start di situ sebelum keliling perumahan. Demi keamanan dan stabilitas warga perumahan, tentunya masing-masing keluarga akan mendukung berfungsinya kembali ronda dan Siskamling. Bagaimana dengan lingkungan Anda?
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana. Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI