Lihat ke Halaman Asli

Makna "Kebhinnekaan" Sudah Selesai, Makna "Tunggal Ika" Siapa yang Punya?

Diperbarui: 26 April 2017   18:00

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Ribut pilkada seperti akan masih lama bergaung. Yang menang sudah didapatkan dan yang kalah masih belum selesai menerima kekalahannya. Kelompok kalah ini masih saja merengut dan menyumpahi kemenangan yang diraih. Begitu banyak versi sumpah mereka. Mulai dari berkoar-koar tak berujung pangkal hingga membuat artikel tentang seremoni demokrasi versus hati nurani. Kesan sempit hati dan tidak berupaya melapangkan dada menjadi begitu kentara.

Muasal kisruh tidak berkesudahan ini sebenarnya hanya berkutat memaknai sebuah semboyan negara yang lacurnya telah menjadi wewenang sebuah kelompok tertentu. Padahal Mpu Tantular pemilik semboyan ini telah cukup telak menyatakan masing-masing kebenaran memiliki jalannya sendiri.

Rwāneka dhātu winuwus Buddha Wiswa,
Bhinnêki rakwa ring apan kena parwanosen,
Mangka ng Jinatwa kalawan Śiwatatwa tunggal,
Bhinnêka tunggal ika tan hana dharma mangrwa.

Konon Buddha dan Siwa merupakan dua zat yang berbeda.
Mereka memang berbeda, tetapi bagaimanakah bisa dikenali?
Sebab kebenaran Jina (Buddha) dan Siwa adalah tunggal
Terpecah belahlah itu, tetapi satu jugalah itu. Tidak ada kerancuan dalam kebenaran.

Entah apa yang menjadi spirit kelompok tertentu tersebut menggenggam sedemikian kuat makna bahwa "Ke-bhinneka-an" dan "Ke-tunggal-an" menuju "Ke-ika-an" tersebut mesti sesuai dengan antusiasme dan pragmatisme kelompok mereka? Mereka berfikir jika kelompok lain yang memaknai pemimpin mesti seiman tidak lagi menjadi puzzle atau pernik dari kebhinnekaan yang dinamis di bangsa ini? Mereka menafsirkan secara sepihak bahwa tidaklah sesuatu yang "tunggal" dan "ika" jika iman atau kebenaran dalam teropong kelompok lain jika menjadi basis nilai dari kelompok tersebut. Bahkan dengan enteng dan tanpa empati menyebutkan kelompok yang berbeda warna dengan kain yang mereka genggam sebagai kelompok radikalis, ekstrimis dan aliran keras. Melabeli keras sebagai sesuatu yang jahat dan menjustifikasi sesuatu yang lembut menjadi satu-satunya kebenaran pada akhirnya adalah sebuah potret nyata mereka sedang mencabik-cabik makna "tunggal ika" tersebut.

Berebut segenggam kebenaran akan menjadi ajang yang tidak akan pernah usai. Maka menjadi sebuah nilai yang patut disematkan menjadi sebuah semboyan hasil perenungan mendalam dari seorang Empu yang hidup ribuan tahun lalu yang bisa melihat situasi kekinian yang genit meloncat-loncat berusaha menjauh dari makna awal dari Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma Mangrwa.

Tidak ada yang rancu dalam sebuah kebenaran sebagai penyeru tafsir tentang memilih pemimpin mesti seiman. Sebagaimana sebagian besar wilayah-wilayah lain yang berujar bahwa mesti kasta tertentu dan beragama tertentu pula yang bisa memimpin sebuah wilayah. Kebenaran memang selalu menjadi tujuan.

Suara kebenaran telah dikumpulkan dan dihitung menjadi sebuah pernyataan bahwa kontestasi telah diselesaikan? Apalagi? Apakah masih ada tawaran atau pilihan selain mengumpulkan suara untuk menguji sejauh mana keinginan yang dilabuhkan? Entah Budha atau Hindu dalam perspektif seorang Mpu Tantular adalah entitas kebenaran tetaplah tunggal. Tidak ada kebenaran yang relatif. Dan bagi kelompok penyeru pemimpin se-iman kebenaran yang mereka yakni adalah absolut dan mereka menjumputnya di bilik-bilik tempat suara mereka berikan.

Hendak apalagi?




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline