Lihat ke Halaman Asli

Ngenyék (Menghina, Kosa Kata Bahasa Jawa Tengah) dan Dialektika

Diperbarui: 25 Juni 2015   04:05

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

1339469315216588908

[caption id="attachment_187477" align="aligncenter" width="300" caption="http://akusukamenulis.wordpress.com/2010/01/24/argumentum-ad-hominem/"][/caption] Ada yang bener-benar bikin risih dan aneh menanggapi banyak artikel yang bersliweran di Kompasiana, banyak ragam insan social media yang melaju di jalur pacu di beberapa kanal yang tersedia. Semua memberi ruang aksi, reaksi, proaksi dan terkadang hanya membaca sambil mengolah imajinasi. Kesungguhan dari setiap kompasianers untuk bisa memindahkan olah fikir ke dalam ruang fikir kemudian diserap oleh para kompasianer haruslah disebut sebuah sinergi intelektualitas dan tentu saja spiritualitas. Muatannya kudu positif (seharusnya lho!) karena akan menunjukkan peradaban Indonesia. Tapi,...ada tapinya ternyata. Dibalik semua itu ada beberapa lagak dan langgam yang sedikit membuat mata perih dan mulut kering saat ada yang dengan sengaja, barangkali atau di luar kendali otaknya ketika berinteraksi antara jemari di tuts keyboard dengan alam pemikirannya. Sebagai muslim saya suka bergidik dan "terprovokasi" dengan beberapa kompasianers non muslim atau bahkan yang pura-pura muslim (mungkin kompasianers bisa membantu saya untuk menguatkan tuduhan yang tidak keji ini). Banyak kasus yang sejatinya menyinggung keimanan dari sisi keyakinan Islam, seringkali dipergunakan kosakata adalah dialektika. Ini sebuah dialektika dari thesis yang berasal dari sudut pandang dan ruang pikir intelektualitas manusia yang kemudian untuk bertemu dengan sejumlah antithesis dari sudut pandang dan theorema yang berbeda. Kemudian melakukan perkawinan dan peleburan kemaknaan dalam ruang sinthesis. Blaik! Indah nian sebuah penggambaran dari dunia social media tentang penghinaan ini. Postingan artikel di Kompasiana berakhir dengan penghinaan terhadap agama meski diwarnai dengan kata-kata cerdas dan penuh rupa. Sebagai muslim tentu saja saya dan kompasianers yang lain berusaha mencoba mendapatkan figur dan identitas ( salah satunya adalah apa keyakinannya  dari teman seberang ),  untuk menegaskan apakah akan menjadi diskusi yang mencerahkan atau barangkali hanya akan menjadi penghinaan seseorang atas keyakinan orang lain. Ketika ada ketersinggungan iman dan sisi religiusitas mitra diskusi dan kemudian berusaha mendapatkan profil "sebenarnya" teman diskusi nyaris selalu berakhir dengan jawaban, " Saudara telah melakukan "argumentum ad hominem dan logical fallacy". Di anggap lucu dan saru ketika menanyakan agama seseorang. Hmm....apa yang lucu dan saru-nya ya? Sungguh aneh! Dua kosa kata ini akan segera ditulis oleh kompasianers yang lain (cenderungnya sih mempunyai keyakinan yang berbeda dengan yang bertanya). Mereka abai dengan rasa marah, tersinggung dan terhina dengan komentar dan isi dari muatan tulisan yang di tempel di kanal-kanal yang ada. Mereka lebih menyukai dua kosa kata ini dan dilekatkan dengan kosa kata berikutnya yaitu dialektika. Padahal ada beberapa kosakata lagi yang lupa diimbuhkan yakni ; kefatsunan atau tata krama dan kesopansantunan. Empati juga harus dilekatkan kepada setiap pernyataan yang sekiranya menerpa sensitifitas keyakinan seseorang. Saya pribadi sering banget menahan diri untuk tidak terpancing menuliskan hal serupa. Ada beberapa tulisan saya semisalnya ; http://filsafat.kompasiana.com/2012/06/11/josephine-dan-jesus/http://edukasi.kompasiana.com/2012/06/07/ketika-non-muslim-meributkan-islam-dialektika-atas-artikel-fpi-dan-revolusi-dangdut/ dan http://sosbud.kompasiana.com/2012/05/28/saya-radikal-dan-fundamentalis/ . Tulisan-tulisan itu bukanlah bentuk penghinaan menurut saya melainkan sebuah penyeimbang dan responsif saja. ( Silahkan jika ada kata-kata yang menyinggung perasaan kompasianers yang non muslim untuk menunjukkannya dan saya akan minta ma'af ). Kalau ada beberapa kalimat yang mempunyai makna penghinaan kepada keyakinan kemudian kita tanya keyakinannya apa kenapa juga salah? Misalnya ada kalimat ( mohon maaf hanya sebuah contoh ), " Kenapa Budha Gautama duduk terus?..Ambeien ya?!" Kemudian ada pertanyaan yang (kesannya) keluar konteks dari teman bicara. "Maaf bung,...agama sampeyan apa?" Apa yang salah coba dengan pertanyaan balik ini? Tapi, ya sudahlah,...padahal apa susahnya menyebutkan;  saya muslim, nasrani, konghucu, budha, ...atau bahkan saya atheis tulen...trus elo mau apa, masalah buat elo?! Salam kompasianers Note: Argumentum Ad Hominemadalah cara berdebat yang menyerang pribadi lawan debat secara langsung, bukan argumennya Logical Fallacyadalah sebuah salah besar, karena bisa menjebak perdebatan konstruktif menjadi debat kusir penuh retorika




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline