Lihat ke Halaman Asli

rokhman

TERVERIFIKASI

Kulo Nderek Mawon, Gusti

HRS Akan Pulang dan Narasi Agresivitas

Diperbarui: 15 Oktober 2020   08:40

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Habib Rizieq Shihab. Foto: KOMPAS.com / GARRY ANDREW LOTULUNG

Habib Rizieq Shihab (HRS), FPI, dkk lekat dengan agresivitas. Bahkan, narasi mereka pun agresif. Apakah agresivitas itulah yang dibutuhkan masyarakat Indonesia secara umum?

Soal sepak terjang HRS, FPI, dkk saya tak perlu bicara panjang lebar. Semua orang berhak memberi reaksi atas apa yang dilakukan HRS, FPI, dkk. Di alam demokrasi, jangan pula memaksakan bahwa semua orang sepakat dengan FPI atau semua orang tak sepakat FPI.

Yang pasti, mereka lekat dengan agresivitas. Bahkan saat HRS pada posisi di luar negeri dan konon kabarnya mau balik ke Indonesia, narasi juga agresif. Narasi yang dibangun adalah "revolusi".

Bayangkan saja, pergi ke luar negeri dalam waktu lama, ketika pulang narasinya adalah revolusi. Jika narasi ini dihadapkan dengan pendukung HRS tentu akan didukung. Tapi jika narasi ini dihadapkan dengan bukan pendukung HRS, potensinya adalah ditolak.

Dari narasi agresif ini saja, dua kubu akan saling berhadap-hadapan. Saya belum tahu bagaimana konkretnya narasi itu. Revolusi seperti apa yang akan dilakukan. Jika aksi revolusinya berpotensi menimbulkan gesekan di lapangan antara dua kubu, bagaimana?

Pernahkah misalnya, orang-orang yang ada di lingkaran elite perpolitikan itu sejenak bertanya pada orang-orang pinggiran. Orang-orang yang tidak berada dalam kubu yang berseberangan.

Saya tentu tak mengetahui apa jawaban orang pinggiran. Tapi, saya meyakini bahwa mereka hanya ingin hidup tenteram. Di tengah kesulitan, mereka ingin ada ketenteraman agar jalan menuju perbaikan lebih mulus.

Bayangkan saja, sudah susah secara ekonomi, dipenjara oleh corona, dihadapkan pula oleh gesekan di lapangan dan potensi kerusuhan. Saya yakin orang pinggiran menginginkan ketenteraman.

Bahwa kita saling beda pandangan, itu hal biasa. Bahkan, ada kalanya menjaga perbedaan itu perlu agar kita paham bahwa kita tak hidup di dunia yang bernarasi tunggal.

Tapi bukan berarti jika perbedaan itu mengharuskan pertikaian, permusuhan, pertumpahan darah, rusaknya fasilitas umum. Fasilitas yang dibuat dari jerih payah kita semua. Termasuk jerih payah pedagang asongan yang berkontribusi pada pajak melalui barang yang dia jual.

Kadang dan bahkan kita harus merenung sejenak sebelum bertindak, menerung sejenak sebelum berbicara. Agar apa yang kita ungkapkan tak jadi masalah yang menyebar ke mana-mana. (*) (*)




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline