Lihat ke Halaman Asli

Ikhwanul Farissa

Officer, Blogger, Conten Creator, Penulis, IT & Data Scientist & Analis, Model Fashion.

Mencermati Jaminan Halal Garam Tradisional di Aceh

Diperbarui: 11 Januari 2018   16:41

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi: www.goaceh.co

Masalah kehalalan memang sangat penting diperhatikan saat kita hendak mengonsumsi makanan atau minuman. Namun bagaimana dengan garam yang kita pakai sebagai bumbu masakan?

Garam mungkin memang selalu ada di dapur rumah kita. Ia kerap dibutuhkan oleh ibu-ibu rumah tangga, termasuk ibu saya saat memasak suatu makanan. Bukankah ada istilah masakan atau sayur tanpa garam itu kurang enak dan kurang sedap rasanya. Sedemikian seringnya kita mendengar istilah itu. Namun pernahkah kita tertarik untuk mengetahui status kehalalan garam itu sendiri?

Saya terhenyak ketika mendapat berita dari sebuah surat kabar harian ternama Aceh, Rabu 13 Desember 2017, yang memberitakan bahwa Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-obatan dan Kosmetika (LPPOM) dan Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh mengklaim jika mayoritas garam yang diproduksi oleh industri garam tradisional Aceh tidak higienis alias bernajis, karena tempat pengolahannya tidak berpagar sehingga mudah dimasuki hewan.

Dalam berita itu jika disebutkan, jika di Aceh terdapat lebih dari 200 unit usaha industri garam rakyat yang diproduksi secara tradisional, namun hanya satu yang mendapat sertifikat halal dari LPPOM dan MPU Aceh, yakni usaha garam UD Milhy Jaya di Kecamatan Jangka Bireuen.

Wah, wah, wah, wah....kok bisa ya! Apa karena begitu susahnya urusan untuk mendapatkan sertifikat halal? Atau soal biaya yang mungkin tidak logis bagi para pelaku usaha untuk sepucuk sertifikat halal itu? Begitulah muncul segenab tandatanya di benakku. Saya yakin berita ini akan banyak mengundang reaksi, terutama dari pelaku usaha garam dan konsumen pun jadi enggan dan was-was untuk membeli produk garam Aceh karena bernajis.

Dugaan saya ternyata benar, esoknya Kamis 14 Desember 2017, klaim dari LPPOM dan MPU Aceh ini ternyata memang mengundang banyak reaksi dan keprihatinan dari berbagai kalangan. Bahkan banyak dari warganet (netizen) yang berkomentar atau menanggapi isu terkait garam Aceh yang belum hieginis atau bernajis ini.

Petani atau petambak garam di yang ada di Aceh amat menyesalkan, karena pemakaian kata bernajis dari lembaga tersebut dapat mematikan usaha mereka. Hal ini sejalan dengan reaksi yang diutarakan oleh Ketua Dewan Pengurus Wilayah Gerakan Kebangkitan Petani dan Nelayan Indonesia (Gerbang Tani) Aceh, Faisal Ridha S.Ag MM. 

Menurutnya, klaim atau pernyataan dari LPPOM MPU ini dapat merusak pasar lokal, nasional dan internasional serta menghancurkan citra dan memiskinkan para petani garam tradisional di seluruh Aceh.

"Seharusnya, jika pun benar sebagian kecil hasil produksi garam Aceh tidak memenuhi standar kualifikasi yang ditentukan LPPOM, tapi tak perlu disampaikan ke publik. Namun cukup dengan merekomendasikan saja temuan itu ke pemerintah atau lembaga terkait agar dapat dilakukan pendampingan." Ujar Faisal.

Kemudian reaksi lain juga muncul dari lembaga Asosiasi Pendamping Manajemen Usaha Kelautan dan Perikanan (APMUKP) Aceh, yang mengaku prihatin dengan kondisi petambak garam yang mendapatkan stigma buruk.

Menurut Habibie S.Pi selaku koordinator APMUKP, "Jika ada petambak garam belum memiliki sertifikasi halal dari LPPOM dan MPU Aceh, bukan berarti produk mereka bernajis atau tidak hieginis. 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline