Lihat ke Halaman Asli

Disabilitas, Antara Diskriminasi dan Kesadaran (Memperingati Hari Disabilitas Internasional Tahun 2019)

Diperbarui: 3 Desember 2019   12:49

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

"Kecacatan adalah hal yang alami. Kita harus berhenti percaya bahwa disabilitas mencegah seseorang melakukan sesuatu, Karena Itu tidak benar... Memiliki kecacatan tidak menghentikan saya untuk melakukan apapun" (Benjamin snow). 

Perkataan penyandang disabilitas asal Amerika Serikat tersebut bisa dijadikan sebagai bahan renungan untuk setiap orang. Tidak sedikit anggapan negatif muncul dari masyarakat atau keluarganya sendiri karena keterbatasan yang dimilikinya, menganggap bahwa penyandang disabilitas sebagai manusia kutukan, tidak punya masa depan, hingga dikaitkan dengan mitos-mitos tidak jelas yang berkembang di masyarakat.

Dari anggapan seperti itu, tampak jelas kita melihat bahwa diskriminasi adalah hal yang biasa menempatkan penyandang disabilitas dalam masyarakat. Persoalannya, cara pandang tersebut tidak berkembang menjadi sebuah kesadaran, ini terjadi pada sebagian besar masyarakat. Kesadaran yang dimaksud diatas adalah kesadaran terhadap kaum disabilitas.

Dampak lebih lanjut akibat kurangnya kesadaran atau pemahaman masyarakat akan arti disabilitas, menganggap bahwa penyandang disabilitas adalah aib dan memalukan, membuat keluarga yang memiliki disabilitas tidak terbuka dengan lingkungan sekitar. 

Hal ini menyebabkan kaum penyandang disabilitas tidak mendapat hak dan kesempatan yang sama seperti masyarakat lainnya. Penyandang disabilitas dianggap tidak memiliki kemampuan dan disamakan dengan orang sakit, mereka hanya dirawat dan dikasihani untuk kelangsungan hidupnya, sehingga menjadikan penyandang disabilitas terlepas dari pendidikan dan pekerjaan.

Sebagai contoh salah satu warga dusun Bagusari, Kec. Lumajang  yang akrab dipanggil Agung ini, mengalami gangguan dalam hal berjalan, berbicara, serta mengalami keterbatasan dalam berfikir. Kondisi seperti itu menimpa nya sejak usianya masih balita, yang mengakibatkan ia cenderung menutup diri dan tidak bisa beraktivitas seperti masyarakat umum lainnya. 

Sebagian keluarganya pun menganggap Agung sebagai beban dan tidak memiliki masa depan yang cerah, terlebih lagi respon dari masyarakat, dimulai dari anak-anak, remaja, hingga orang dewasa, meraka menganggap Agung adalah sosok manusia yang luar biasa dan selalu dianggap rendah oleh masyarakat. Dalam kesehariannya kerap kali ia menjadi sasaran bullying oleh anak-anak dan remaja yang ada di sekitar rumahnya, Hal seperti iniah yang membuat agung serta keluarganya menutup diri dari masyarakat setempat.

Kita sebagai warga Indonesia harus meninggalkan cara pandang seperti itu, karena negara kita adalah bagian dari masyarakat dunia yang berkomitmen melalui yuridis formal untuk mengambil tindakan dalam mengupayakan secara optimal, dalam bentuk nilai kehormatan, perlindungan dan pemenuhan hak terhadap penyandang disabilitas sebagaimana yang tercantum dalam CPRD (Convention on the rights o person with disabilities), melalui UU Nomor 19 Tahun 2011.

Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 52 Tahun 2019  tentang penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial Bagi penyandang disabilitas ditetapkan oleh presiden Joko Widodo pada tanggal 26 juli 2019. Ketetapan tersebut bertujuan untuk memenuhi kebutuhan dasar, menjamin pelaksanaan fungsi sosial dan meningkatkan kesejahteraan sosial yang bermartabat bagi penyandang disabilitas, serta mewujudkan masyarakat inklusi. 

Kemudian perlu juga kita pahami pada UU No. 8/2016 Pasal 5 tentang hak-hak penyandang disabilitas yang berbunyi sebagai berikut "Penyandang disabilitas memiliki hak; 1. hidup; 2. bebas dari stigma; 3. privasi; 4. keadilan dan perlindungan hukum; 5. pendidikan; 6. pekerjaan, kewirausahaan, dan koperasi; 7. kesehatan; 8. politik; 9. keagamaan; 10. keolahragaan; 11. kebudayaan dan pariwisata; 12. kesejahteraan sosial; 13. Aksesibilitas; 14. Pelayanan Publik; 15. Pelindungan dari bencana; 16. habilitasi dan rehabilitasi; 17. Konsesi; 18. pendataan; 19. hidup secara mandiri dan dilibatkan dalam masyarakat; 20. berekspresi, berkomunikasi, dan memperoleh informasi; 21. berpindah tempat dan kewarganegaraan; dan 22. bebas dari tindakan Diskriminasi, penelantaran, penyiksaan, dan eksploitasi".

Akan tetapi, sampai saat ini angka pemenuhan hak penyandang disabilitas masih terbilang minim. Bisa kita perhatikan ruang publik yang ada di sekitarmu, Apakah trotoar sudah benar-benar dioptimalkan untuk mempermudah penyandang daksa ataupun tuna netra? 

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline