"Ka, itu story ngeri ah, take down dulu ya Nak, lagi panas nih."
Begitu kalimat yang belakangan kerap keluar dari mulut saya. Anak saya yang Gen Z, baru saja menulis postingan panjang di Instagram tentang isu-isu yang sedang bergolak di negeri ini. Satu sisi saya bangga, tapi di sisi lain saya, jujur saja, ketar-ketir.
Saya tersenyum miris. Rupanya sejarah itu memang punya hobi berulang. Dulu, di masa mudanya, ayahnya berdiri di barisan aktivis. Berorasi, membagi pamflet, turun ke jalan. Kini, anak saya melakukan hal yang sama. Kali ini tidak hanya turun ke jalan bahkan ulu hatinya sempat dihujam tongkat aparat, namun juga dia berada di atas "mobil komando digital" bernama media sosial.
Aktivisme yang Berubah Wajah
Kalau dulu keberanian ditunjukkan dengan turun aksi, sekarang satu unggahan bisa menyulut lebih banyak percakapan ketimbang sebuah mimbar terbuka. Gen Z tumbuh dalam ekosistem digital yang membuat mereka lebih cepat belajar, lebih berani menyuarakan, tapi juga lebih rentan direkam jejaknya.
Dan di sinilah bedanya: ayahnya dulu bisa mengubur masa lalu dalam arsip-arsip koran (yang itu pun tak banyak) yang sudah menguning. Sementara anak saya, jejak digitalnya akan terus hidup, bisa diakses kapan saja oleh siapa pun. Itu yang bikin hati saya kadang mencelos: bagaimana jika kelak jejak itu menjadi "ganjalan" saat ia melamar kerja, membangun karier, atau sekadar ingin hidup tenang?
Bangga yang Tidak Bisa Disembunyikan
Namun, kalau ditanya jujur, saya bangga. Anak saya bukan aktivis ikut-ikutan. Ia membaca buku, melahap artikel, menonton film dokumenter, lalu mengolahnya jadi tulisan. Prinsip yang selalu saya tekankan: jangan bersuara sebelum tahu substansinya, dan itu rupanya ia pegang erat.
Itu membuat saya lega. Setidaknya, ia tidak pelanga-pelongo saat ditanya soal isu yang ia suarakan. Ia berani, tapi bukan asal teriak. Ia tajam, tapi tetap punya landasan.
Bagi seorang orangtua, ini seperti menanam pohon. Kita bisa saja khawatir dahan-dahannya suatu hari disambar petir, tapi sulit untuk tidak bangga melihat pohon itu tumbuh tegak, rindang, dan kokoh.
Ketakutan yang Nyata
Tapi bangga tak pernah berdiri sendiri. Ia selalu beriringan dengan rasa takut. Bukan takut karena anak saya salah, tapi takut karena dunia sering kali tidak adil menilai. Dunia bisa mencomot sepotong kalimat dari unggahan, lalu melabelinya dengan stigma yang berat.