Lihat ke Halaman Asli

Iis Susiawati Abdullah

Praktisi Pendidikan

Gelar Bisa Diraih, Tapi Kompetensi Adalah Bekal Sejati

Diperbarui: 10 Juli 2025   09:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Gelar vs Kompetensi

Gelar Bisa Diraih, Tapi Kompetensi Adalah Bekal Sejati

Di setiap musim wisuda, ratusan bahkan ribuan mahasiswa melenggang dengan bangga mengenakan toga, menyandang gelar sarjana, magister, atau doktor. Tugas akhir atau skripsi telah mereka selesaikan. Mereka dinyatakan "layak" menyandang titel akademik. Tapi di balik euforia itu, ada pertanyaan penting yang sering luput dibahas: Apakah gelar cukup untuk menghadapi dunia nyata?

Jawabannya, tidak selalu. Gelar memang penting sebagai pengakuan formal atas pencapaian akademik. Namun, dunia kerja dan kehidupan pasca-kampus menuntut lebih dari sekadar selembar ijazah. Yang sesungguhnya menjadi bekal utama adalah kompetensi---yakni kemampuan, karakter, dan etos kerja yang dibentuk selama proses studi, bukan sekadar hasil akhir.

Tugas Akhir: Syarat Bukan Tujuan

Tugas akhir hanyalah satu dari sekian banyak tahapan dalam perjalanan akademik. Ia penting secara administratif, sebagai penanda bahwa mahasiswa telah menempuh proses belajar secara sistematis dan mampu berpikir ilmiah. Namun, menyelesaikan tugas akhir tidak serta-merta mencerminkan kualitas pribadi atau kesiapan menghadapi tantangan dunia nyata.

Sebaliknya, kompetensi tumbuh dari kebiasaan mahasiswa selama bertahun-tahun: bagaimana mereka belajar mengatur waktu, menyelesaikan konflik dalam organisasi, membangun kerja tim, menghadapi kegagalan, dan bangkit kembali. Itu semua tidak tercermin dalam nilai angka, namun sangat menentukan di dunia nyata.

Kompetensi: Modal Hidup yang Sesungguhnya

Kompetensi mencakup hard skills (kemampuan teknis) dan soft skills (kemampuan interpersonal, komunikasi, kepemimpinan, dan berpikir kritis). Di era VUCA (Volatility, Uncertainty, Complexity, Ambiguity) seperti sekarang, ketahanan mental, fleksibilitas berpikir, dan kemampuan belajar sepanjang hayat (lifelong learning) menjadi jauh lebih penting daripada sekadar hafalan teori.

Seringkali kita menemukan lulusan dengan IPK tinggi kesulitan beradaptasi di tempat kerja karena tidak terbiasa berpikir mandiri, kurang keterampilan komunikasi, atau tidak memiliki semangat inisiatif. Sebaliknya, ada yang lulus dengan nilai biasa saja, namun sukses di dunia nyata karena memiliki karakter kuat dan kompetensi yang matang.

Paradigma yang Perlu Diubah

Sudah saatnya kampus tidak hanya menjadi pabrik gelar, tetapi ekosistem yang membentuk pribadi pembelajar. Mahasiswa perlu didorong untuk tidak hanya mengejar kelulusan, tetapi memaknai proses perkuliahan sebagai wadah pembentukan jati diri, karakter, dan keterampilan hidup.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline