Lihat ke Halaman Asli

Pilgub DKI 2017: Demokrasi dan Perubahan

Diperbarui: 14 Februari 2017   16:11

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Pada tanggal 15 Februari 2017, Indonesia akan melaksanakan pemilihan serentak di berbagai daerah seluruh Indonesia.  Salah satu daerah yang akan ikut melaksanakan pemilihan kepala daerah ialah DKI Jakarta.  

DKI Jakarta sebagai daerah khusus ibukota, tidak mempunyai daerah otonom seperti Kabupaten dan Kota di berbagai daerah di Indonesia.  Maka walaupun DKI Jakarta mempunyai satu kabupaten yaitu Kabupaten Kepulauan Seribu, dan 5 Daerah Kota Madya, yaitu Kota Madya Jakarta Selatan, Jakarta Timur, Jakarta Barat, Jakarta Pusat, dan Jakarta Utara, tetapi semuanya tidak ada yang otonom.  Menurut UU Pemerintah Daerah Ibukota Jakarta, yang otonom hanya di Provinsi DKI Jakarta yang dipimpin seorang Gubernur dan seorang Wakil Gubernur, serta Dewan Perwakilan Daerah DKI Jakarta.   Konsekuensinya, di kabupaten Kepulauan Seribu, dan lima Kota Madya di DKI Jakarta tidak mempunyai DPRD Kabupaten dan Kota. 

Oleh karena itu, pemilihan Gubernur di DKI Jakarta, hanya dilakukan pada daerah tingkat provinsi, yang  pada 15 Februari 2017, seluruh warga DKI Jakarta yang sudah memenuhi syarat akan memilih Gubernur dan Wakil Gubernur DKI Jakarta periode 2017-2022.

Pertarungan memperebutkan DKI 1, sejak pemilihan Gubernur DKI Jakarta dilaksanakan secara langsung, pertarungan yang melibatkan warga DKI sebagai pemilih kedaulatan sangat seru dan keras.   

Setidaknya ada lima alasan mendasari, mengapa pilgub DKI sangat keras. Pertama, DKI Jakarta adalah barometer nasional.  Sebagai ibukota negara adalah pusat pertarungan politik, ekonomi, sosial, pertahanan-keamanan dan sebagainya.  Maka partai politik yang calonnya berhasil memenangi pertarungan DKI 1, maka akan memberi pengaruh secara politik dan ke berbagai daerah di seluruh Indonesia.

Kedua, secara politik, calon Gubernur DKI Jakarta yang sukses memenangkan DKI 1 dalam pemilihan Gubernur DKI Jakarta,  berpeluang menjadi RI 1 di masa mendatang seperti yang dialami Ir. H. Joko Widodo, yang sukses memenangkan Pilgub DKI tahun 2012, akhirnya didukung PDIP menjadi Presiden RI dan berjaya memenangkan pertarungan dalam memperebutkan RI 1.

Ketiga, ekonomi Indonesia, sekitar 70 persen berada di DKI Jakarta, maka tidak mengherankan jika para pemilik modal dan penguasa politik, ingin menguasai DKI Jakarta.  Apalagi ada proyek reklamasi di pantai Jakarta, yang sedang dibangun dan banyak kegiatan usaha di DKI Jakarta yang harus diselamatkan. 

Keempat, secara sosiologis, daya tarik DKI Jakarta luar biasa bagi setiap warga negara Indonesia, sehingga hampir semuanya ingin mengadu nasib di DKI Jakarta, karena DKI menjanjikan kehidupan yang lebih layak dan masa depan yang lebih baik.

Kelima, secara politik, mereka yang mempunyai kekuasaan ekonomi dan politik di daerah, merasa tidak puas, jika tidak menjadi anggota parlemen dan menduduki posisi politik yang  tinggi di Jakarta.   Kalau sudah berhasil, mereka maunya tinggal di DKI Jakarta.

Demokrasi dan Perubahan

Dalam demokrasi, sejatinya yang berkuasa (berdaulat) adalah rakyat.  Oleh karena dalam stratifikasi sosial, yang terbanyak adalah rakyat jelata (wong cilik), maka untuk mengetahui siapa yang bakal memenangkan pertarungan perebutan kekuasaan di DKI 1, maka barometernya adalah rakyat jelata.  Siapa yang terbanyak akan dipilih rakyat jelata, dia yang akan memenangkan DKI 1.  

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline