Lihat ke Halaman Asli

Ibrohim El Hasbi

Pakar Pendidikan Islam

Bersekolah Pasca Asap Karhutla

Diperbarui: 20 Mei 2020   11:32

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Bagi sekolah-sekolah yang berada di tanah jawa, dimana terkumpul para pendidik, fasilitas dan lulusan yang hebat-hebat, tiga bulan pertama Kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dimanfaatkan untuk simulasi mengejar target ideal.  

Tak jarang sekolah melakukan berbagai evaluasi untuk mengukur kesuksesan pembelajaran. Salahsatu alat ukur yang biasa dilakukan ialah dengan menyelenggarakan Penilaian Tengah Semester (PTS), dahulu UTS. 

Target ketercapaian dapat dilihat secepat kilat, terutama bagi sekolah yang sudah memberlakukan UBEK (Ujian Berbasis Komputer). Dengan demikian, hasil pembelajaran dapat terus dilakukan perbaikan.

Sangat berbeda dengan sekolah-sekolah yang terkena dampak Karhutla (Kebakaran hutan dan lahan). Bagi mereka, jangankan berpikir untuk melihat hasil pembelajaran. Yang lebih penting saat ini ialah, bagaimana membangun kembali semangat tiap unsur pendidikan untuk kembali bersekolah.

Bukan tanpa alasan Dinas Pendidikan setempat sempat mengeluarkan kebijakan untuk meliburkan sementara pembelajaran. Andai dipaksakan, bukanlah ilmu yang didapatkan, melainkan penebaran trauma bersekolah. 

Terlepas faktor terjadinya Karhutla sebagai sebuah kejahatan atau bencana alam semata, namun yang terpenting ialah bagaimana masyarakat pendidikan yang terkena dampak, harus segera bangkit dan berusaha untuk kembali bersekolah.

Apabila melihat sejarah, pasca meledaknya kota Hirosima dan Nagasaki, yang pertama kali dicari oleh Kekaisaran Jepang ialah para pendidik. Mereka tidak larut dengan kesedihan, namun menjadikan semua itu sebagai motivasi untuk segera bangkit. 

Terbukti, kini Jepang menjadi salah satu negara maju bahkan memimpin dunia pada bidang tertentu.

Contoh lain ialah kebangkitan negara Korea Selatan. Pasca kemerdekaan, pemerintah Korea Selatan mendoktrin masyarakatnya untuk bekerja melebihi negara Jepang yang pernah menyengsarakannya, walaupun per 1 Juli 2018 demi alasan kesuburan kaum wanita, mereka mengurangi jam kerja yang semula 68 jam dalam satu minggu menjadi 52 jam, (lihat berita CNN 03/07/2018). 

Intinya mereka harus bekerja keras dan lebih lama dari negara yang sudah menjajahnya. 

Pun sekarang terbukti, Korea Selatan menjadi salah satu negara maju di dunia, bahkan bersaing dengan negara Jepang itu sendiri. Pola tersebut, tidak salah-salah amat kalau diadopsi oleh Dinas Pendidikan wilayah-wilayah yang terkena dampak karhutla sehingga dapat bangkit menuju ketertinggalan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline