Lihat ke Halaman Asli

Ibrohim Abdul Halim

Mengamati Kebijakan Publik

Investasi ala Buffet Untuk Jaga Stabilitas

Diperbarui: 29 Juni 2020   08:45

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah pandemi, krisis seakan tak bisa dihindari. Ekonomi memang melambat karena perdagangan riil loyo sehingga pertumbuhan ekonomi terkoreksi, tapi setidaknya kita masih punya satu kabar baik: indeks saham masih relatif bisa bertahan.

Dikatakan bisa bertahan karena memang IHSG seperti sudah melewati tingkat terendahnya di bulan Maret. Indeks sempat menyentuh level tertinggi sepanjang tahun ini di bulan Januari pada level Rp 6.325, dan mencapai level terendah di bulan Maret pada level Rp 3.937. Tercatat penurunan dari perdagangan awal tahun sebesar 37%.

Penurunan tersebut masih jauh lebih baik dibandingkan yang terjadi saat krisis 1997-1998 dan krisis 2008. Pada Desember 1997, IHSG mengalami penurunan 54,17%, menguat kembali awal tahun 1998, lalu terjun 53,6% kembali pada September 1998. Pada tahun 2008, IHSG mencapai level terendah dalam beberapa tahun, dengan penurunan hingga 60,73%.

Adapun tahun ini, sekalipun sempat turun 37% di masa awal Pandemi, proses transisi new normal telah berhasil mengembalikan perdagangan ke level yang wajar, berada di level terjaga 4.800-5.000. Akhir pekan kemarin (26/6), IHSG ditutup naik 0,15% ke level 4.904.

Meskipun berkinerja positif, ada satu hal yang mengkhawatirkan: aksi jual asing. Dari transaksi Rp 5,67 Triliun di hari itu, modal asing mengalir cukup deras hingga Rp 698,5 Miliar.

Secara total, capital outflow dari Januari hingga Maret 2020 telah mencapai Rp 145 Triliun. Aliran modal asing ini lebih besar dari periode krisis 2008 dan taper tantrum 2013, di mana pada tahun tersebut capital outflow hanya terjadi sebesar Rp 69,9 Triliun dan Rp 36 Triliun.

Penarikan modal asing yang masif bisa punya dua dampak besar, yakni pada kinerja nilai tukar dan pada kinerja perusahaan itu sendiri.

Aliran modal asing yang keluar tentu menciptakan pelemahan nilai tukar rupiah. Pada Februari 2020, rupiah masih kuat berada di area Rp 14.318 per dolar AS. Adanya capital outflow di bulan Maret menyebabkan Rupiah melemah dan mencapai titik terendah dalam 5 tahun terakhir pada 2 April 2020 hingga level Rp 16.741 per dolar AS.

Pelemahan kurs tentu berdampak langsung pada industri, karena kurs yang melemah menyebabkan biaya impor menjadi semakin mahal. Perusahaan akhirnya dihadapkan pada kondisi di mana permintaan turun dan mahalnya harga bahan baku. Dampaknya, mereka melambatkan produksi. Ini bisa dilihat dari hasil survei BPS Mei 2020, di mana impor bahan baku turun hingga 35%.

"Pelambatan produksi" adalah bahasa halus dari pengurangan bonus, pengurangan gaji, atau bahkan pemutusan hubungan kerja untuk sebagian karyawan.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline