Lihat ke Halaman Asli

I Gede Sutarya

Penulis dan akademisi pada Universitas Hindu Negeri I Gusti Bagus Sugriwa Denpasar

Pariwisata Bali dan Masa Depannya

Diperbarui: 1 September 2021   16:57

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Ketergantungan Bali terhadap pariwisata semakin tinggi setiap tahunnya. Pada sebelum Covid 19 yaitu tahun 2018 dan 2019, Bali menerima kunjungan wisman sekitar enam juta orang. Pada tahun 2020, kunjungan ini menurun ke titik sekitar satu juta wisman, sama seperti kunjungan wisman pada kejadian Bom Bali I tahun 2003. Pada tahun 2021 ini juga hampir tanpa harapan karena pandemi Covid 19 belum berakhir. Pasca 2021, kecenderungan kunjungan wisman tampaknya akan belum kelihatan karena pemulihan pandemi Covid 19 dan pemulihan ekonomi dunia akibat pandemi. Krisis ekonomi di berbagai negara akan mempengaruhi kunjungan wisman ke Bali.

Pada sisi yang berbeda, masyarakat Bali telah mengandalkan ekonomi pada pariwisata. Bali dalam Angka (Pemprov Bali, 2019) mencatat bahwa 58,36 persen angkatan kerja di Bali yang berjumlah 2,4 juta lebih bergantung pada pekerjaan jasa. Ketergantungan terbesar terjadi di Denpasar 80,21 persen, Badung 74,69 persen, dan Gianyar 56,95 persen. Sebagian besar dari sektor jasa yang digeluti masyarakat Bali adalah sektor pariwisata. Karena itu, pada masa pendemi ini, ekonomi Bali bergerak hanya sekitar 50 persen, dari sektor pertanian dan industri pengolahan.

Untuk mengangkat ekonomi Bali maka sektor pariwisata adalah andalannya, tetapi mengingat pasar dunia yang begitu lesu maka pariwisata Bali harus menggeser pasarnya pada wisatawan domistik. Hal ini pun hanya dapat dilakukan bila pandemi telah selesai di Indonesia. Pembukaan sektor pariwisata ini harus diikuti dengan langkah-langkah menjaga kesehatan. Hal ini memang menjadi persyarat dari pembangunan pariwisata berkelanjutan yaitu membangun lingkungan yang baik, pro ekonomi lokal dan pro masyarakat lokal.

Dalam konteks ini, Bali memang memiliki konsep Tri Hita Karana, yaitu harmoni dengan Tuhan, manusia dan lingkungan, tetapi penerapannya masih menjadi tanda tanya besar. Angka kasus covid 19 di Bali yang pada Juli-Agustus 2021 ini yang cukup tinggi (masuk level 4) menunjukkan kondisi lingkungan Bali yang sesungguhnya, bahwa Bali mengalami pertambahan jumlah penduduk yang membuat kota-kotanya seperti Denpasar dan Badung sangat padat. Kepadatan penduduk ini menimbulkan berbagai masalah lingkungan dan kesehatan.

Fakta-fakta ini menyebabkan Bali harus berpikir kembali dalam membangun pariwisata ke depan. Pertama, harus melakukan usaha perbaikan lingkungan dengan meratakan penyebaran penduduk. Kedua, harus membangun pariwisata yang pro ekonomi lokal dan masyarakat lokal. Salah satu caranya adalah membangun pariwisata pedesaan dan melakukan pembatasan terhadap kegiatan wisata di daerah-daerah padat sebab ini akan menimbulkan masalah lingkungan, kependudukan dan kesehatan di daerah tersebut.

Diversifikasi destinasi wisata harus terus dilakukan untuk menyebarkan kunjungan wisatawan ke Bali sehingga tidak berada pada beberapa titik padat. Kebijakan ini adalah memang sedikit menyakiti pemilik modal yang sudah menanamkan modalnya di daerah-daerah padat, tetapi akan memberikan ruang bagi pembangunan pariwisata Bali di masa depan. Kemudian, pariwisata juga akan menjadi lebih cair kepada ekonomi dan masyarakat lokal.




BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline