Lihat ke Halaman Asli

Y. Edward Horas S.

TERVERIFIKASI

Pendiri Cerpen Sastra Grup (cerpensastragrup.com)

Cerpen: Petakan Tanah di Dekat Rumah

Diperbarui: 18 September 2021   22:24

Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ilustrasi petakan tanah, sumber: tempo.co

"Goblok kamu!" sentak istriku malam itu. Matanya kembali memelototiku. Tangannya menunjuk ke kepalaku. Aku baru saja membuka pintu. Belum pula kulepas baju kerjaku. Perempuan di depanku kembali membahas perkara lima hari lalu. Saat terakhir kali kami tidur berdua selalu. Sekarang, aku harus tidur di ruang tamu.

Aku melepas sepatu lantas berjalan berlalu. Tak kuhiraukan omongannya yang hanya membuat kelu. Sudah tahu suami capek kerja, malah disambut begitu.

Sebetulnya bukan kali pertama aku disentaknya. Wataknya yang gampang emosi memang harus kuhadapi apa adanya sebagai konsekuensi menerimanya menjadi pasangan hidup selamanya. Tetapi, kali ini aku bersikeras tidak mau mengalah darinya.

Aku sudah lelah, setiap hari membaca berita yang membuatku hampir menyerah. Beberapa kanal televisi menyajikan berita, kerusakan di mana-mana. Hutan-hutan gundul, pohon-pohon ditebang habis betul, begitu amburadul.

Sampah-sampah bertebaran di lautan. Beberapa kura-kura tertangkap memakan benang jahitan. Hidung mereka berdarah seperti kesakitan. Sementara tidak jauh dari kediaman, beberapa warga masih seenaknya membuang tanpa berpikir bagaimana nanti ke depan. 

Aku pernah melihat seorang bocah melempar bungkus plastik bekas tempat makanan begitu saja ke sungai yang sejak kapan berwarna hitam legam. Tentu, tidak ada lagi yang pantas disalahkan selain manusia, barangkali kita, aku dan Anda.

Tetapi, kita semuanya tidak pernah terlambat untuk memperbaikinya. Aku sudah berusaha barang sedikit, menanam beberapa apotek hidup di halaman depan rumah yang sempit. Kualihkan pandang dari dalam kamar menuju ke tanaman-tanaman di seberang jendela yang terbayang samar, karena gerimis yang tiba-tiba turun tanpa kabar.

Ada tanaman cabe yang sudah berbuah, bunga Anggrek yang mulai merekah, pun rumput-rumput hijau yang tumbuh seperti mini sawah. Petak kecil di depan rumah memang sengaja kuhijaukan di tengah keringnya pepohonan di kota tinggalku yang sesak orang dan penuh debu jalanan.

Aku memang tidak bisa menyalahkan pendapat sebagian orang yang memandang kota adalah tempat menjanjikan untuk menyambung kehidupan. Barangkali mereka punya keterampilan, itu tidak masalah dan bisa diadu mana yang paling layak mendapat pekerjaan. 

Tetapi, bagi mereka yang datang bermodal nekat, terkadang aku hanya geleng-geleng kepala sesekali tercekat. Mulutku tidak bisa berkomentar seperti ada sesuatu yang menyekat. Berusaha memperbaiki kehidupan memang bebas pada hakikat, tetapi janganlah hanya mengandalkan besar tekad.

Halaman Selanjutnya


BERI NILAI

Bagaimana reaksi Anda tentang artikel ini?

BERI KOMENTAR

Kirim

Konten Terkait


Video Pilihan

Terpopuler

Nilai Tertinggi

Feature Article

Terbaru

Headline